Merangkai kata-kata indah nan syahdu memang amat menyenangkan bagi sebagian orang. Namun beberapa di antara kalian pastinya juga akan sangat kesulitan jika kurang terbiasa merangkai kata-kata, terutama dalam bentuk puisi.
Bagi kalian yang lagi belajar, yuk simak puisi-puisi berikut ini ya:
🎆 Gelonggong Jati
Thriller di antara semburat lampu kota Matanya,
sayup-sayup menerobos
Sesosok tajam tertangkap sebilah matanya
Menyorot ke dalam matanya, bertanya
Tabir tersingkap di antara remang-remang
Bulu, kandang sapi dan kerbau
Riup gelap dalam setengah kabut, meradang
Pesing menancap, menyelusuri dinding
Menerobos penciumannya, bertanya
Kemukus kayu jati di antara bebisikan
Selontaran gelonggongan tak bernama
Pekat, sejauh galah yang tak terlihat
Suara datang kemudian bergerak cepat
Siapa di sana!
🎆 Politik Sayur-Mayur
Nyi Entik memutar otak,
meronta menyelenjarkan kaki
Di ujung dipan, mengikat, menata di tangannya
Beberapa dibalik yang tak serasi
Terlalu terlihat kecil, jangan!
Beberapa potong buncis dipajang
Sepotong ulat mendekat kemudian menyantap
Nyi Entik mengusir; bergerak cepat
Mengambil sisanya,
memasukkan ke dalam;
dalam bagian yang tak tersiar
🎆 PAM, Pada Suatu Siang
Di musim kemarau
Tenggorokannya berhenti
Diputar, digiring dan tetap berhenti
Muntah, tak bisa Disuruh, diam tak bisa
Dipaksa, diam masih diam saja
Diseret hingga berton-ton baja
Mengikatnya jangan sampai lena
Buktinya menerawang
Di suatu kesempatan pernah tersiar Ada!
🎆 Bukit Barisan
Lahan seluas hektar memimpin di pucuk daun lontar
Dengan gagah mulutnya, bibirnya berkibar
Ada kalanya tak sempat menahan tawa
Terlalu gagah menyembul di antara beberapa
Ratusan laskar memberondong di depan
Menancapkan bom molotov
hingga ke liang kerongkongan
Menyayat,
menebas paksa sekumpulan adrenalin yang tertancap
Beradu pada sekian hektar
Berkelakar di antara bagian-bagian badan
Terkecoh sampai mulut berbusa
Ternganga; tiba-tiba, tak lagi seperti sedia kala
Kuncung Pak Kumis
Dicukur lagi hari ini
Bulan lalu yang sedikit memanjang; membuat gatal
Tak pernah dibiarkan lagi setelahnya
Gunting, sisir, kaca, silet, serbet
Serbet untuk dipakai Bu Kumis meronde
Setiap siang meronde, wedang ronde
Di antara batas akar mahoni
Di atasnya tertumpuk; rambut Pak Kumis
Menari jika angin menyisir tipis
🎆 Masjid, Pada Suatu Subuh
Sayup-sayup beberapa bayang mengekor;
bersambut,
datang bersama Pak Jon, Numinah,
serta berderet tukang sawah
Bagi yang sempat, anak dibawa, ada
Gulita masih ada;
tak jelas mana rupa
Dinyalai lampu teplok; lumayan, ha...ha...
Berdesakan di area kecil, sempit,
pengap; dari kayu dengan atap lontar
Alas kaki jadi bencana;
tak terlihat mana miliknya
Berputar, diputuskan membawa sepasang;
yang baik dibawa pulang
Lampu neon ditemukan; jelas
Menguning kemudian memutih;
semakin putih semakin irit
Bernyala-nyala di pucuk, di akar, di pojok, tengah, di mimbar
Alas kaki, ia ada berkata
Satu, dua gelintir;
Pak Jon, Numinah, serta berderet tukang sawah
Bagi yang sempat membawa anak, tidak ada
🎆 Literal Jala
Suatu hari,
bahkan suatu malam takdir mendatangi, datang!
Menjamu para pemula bertanya tentang bahasa;
Jika simbol atau isyarat,
angin juga di dalamnya bergerak
dan mengobrak-abrik suasana,
berkelebat sekilatan guntur di savana;
berkata dalam bahasa
Malam kian datang
Kabut tipis bergumpal di langit-langit
Bertatap nafas saling mengerut
Ketika jalan tak senantiasa lurus,
ketika jala kian meregang,
ketika tiba-tiba tiba pada sekujur badan;
ada di antara pertapa yang lalu-lalang
Jala, kabut yang berwibawa
Kepingan yang membawa isyarat sedemikian rupa
Pembawa angin namun tak pernah sampai
Merembet melalui celah yang terbuka
Jika semua mampu berbicara
Apa guna mulut ini bersuara
🎆 Di Trotoar
Awan tersenyum cerah
sambil baris berarakan di atas kepala
Tipis-tipis semilir angin
sesekali menerpa pendengaran;
kadang riuh,
kadang pula tak berhembus sama sekali;
mati, kaku sebagaimana jasadmu terlihat begitu kini.
Sedang di atas sana,
tahulah kamu
Sesekali kau menengadah;
entah berdo’a atau sekedar reflek
hingga wajahmu menatap angkasa.
Sejenak kemudian, layu tertunduk.
Hanya sedikit sisa tenaga
dan kau gunakan apa adanya
Langkahmu,
kau buat setakberdaya mungkin;
terseret oleh semburat kekecewaan
yang terpancang jelas di ronamu.
Atau, dirimu memang sedang berada di posisi
yang sungguh tak mampu, barangkali?
🎆 Jakarta
Malam-malamnya tak pernah malam
Pagi kembali seperti sedia kala
Jantung kota, berdegum selayaknya nyawa
Sekali mati, mati semua
Bising knalpot,
moncong-moncong pengepul asap hitam
Baik yang bertingkat tinggi atau bukan
Mana milik kami, kawan?
Pak Presiden yang terhormat
Jakarta sejenak perlu tidur
Dengan jantung yang masih harus terus berdetak
namun butuh tidur
Sekali-kali, biar pikiran ini berhenti berpikir
Masalah, selamanya tak kan habis
meski ribuan kali dipikir pun
🎆 Sebelum Sampai pada Titik Kelelahan
Jangkar yang membujur
Panorama kapal di pelabuhan
Hijau, kuning, menggetarkan
Bersambung dengan cakrawala di samping lautan
Biru, kadang hijau bercampur cokelat di tepiannya
Pasir putih, hitam, milik siapa
Di beberapa sana, Pak Lurah menguasai
Mendanai sekenanya kemudian menguasai
Jika semua seperti dia
Lalu kami ini punya apa…
🎆 Sekembalinya
Kaki ini telah terseret sejauh beberapa mil
Terpaksa meronta namun tak bisa
Pasir panas di bawah persis matahari
Menusuk perih hingga ke jantung
Membara, terbawa angin panas gurun
Masih juga harus seperti ini
Setiap pagi kembali seperti ini
Tak ada yang peduli
Jiwa kami ini
Pernah tidak sekali tahu
Sekali-kali biar tahu diri kami ini
Apa.
🎆 Menapaki jejakmu
Dalam mimpi seorang anak bumiputera
Dilihatnya insan dengan kilauan sayap penuh cahaya;
di setiap bagian dirinya
Ia tertegun.
Sekali dua kali dipandangi,
semakin besar hasrat untuk mendekati;
sinar yang terpancar dari pekat malam
Ia tersenyum.
Tahulah ia akan insan penggetar hatinya itu
Sebuah jiwa yang sepenuh hati
Menjadi penerang di antah berantah ini
Sebuah kedamaian
Penyuara obor yang menggelorakan
Pelita, pembunuh kegelapan
Dengan cahaya bak sutera bersulam emas
Tak pernah padam meski tak seorang pun yang datang memuji
Setiap syairnya membangkitkan keberanian
Hati nan lembut selaksana embun pagi;
peneduh kegalauan, penenang keresahan
Karena dia adalah dia
Yang tak tinggal diam kala mendengar jeritan
Si anak terbangun
Seutas senyum terpancar kemudian
Jejak itu
Perang belum usai, kawan!
Selamanya, musuh tinggal diam
melihat kita tertawa!
Okey teman-teman, sampai di sini dulu ya postingan aku tentang puisi-puisi yang puitis. Ada juga loh kumpulan puisi aku lainnya. Silahkan cek di blog ini ya. Salam.
Comments
Post a Comment