Skip to main content

12 Puisi Terpuitis Penuh Makna Sepanjang Masa

Merangkai kata-kata indah nan syahdu memang amat menyenangkan bagi sebagian orang. Namun beberapa di antara kalian pastinya juga akan sangat kesulitan jika kurang terbiasa merangkai kata-kata, terutama dalam bentuk puisi.
Bagi kalian yang lagi belajar, yuk simak puisi-puisi berikut ini ya:


πŸŽ† Gelonggong Jati 
Thriller di antara semburat lampu kota Matanya, 
sayup-sayup menerobos 
Sesosok tajam tertangkap sebilah matanya 
Menyorot ke dalam matanya, bertanya 

Tabir tersingkap di antara remang-remang 
Bulu, kandang sapi dan kerbau 
Riup gelap dalam setengah kabut, meradang 
Pesing menancap, menyelusuri dinding 
Menerobos penciumannya, bertanya 

Kemukus kayu jati di antara bebisikan 
Selontaran gelonggongan tak bernama 
Pekat, sejauh galah yang tak terlihat 
Suara datang kemudian bergerak cepat 
Siapa di sana! 


πŸŽ† Politik Sayur-Mayur 
Nyi Entik memutar otak, 
meronta menyelenjarkan kaki 

Di ujung dipan, mengikat, menata di tangannya 
Beberapa dibalik yang tak serasi 
Terlalu terlihat kecil, jangan! 

Beberapa potong buncis dipajang 
Sepotong ulat mendekat kemudian menyantap 

Nyi Entik mengusir; bergerak cepat 
Mengambil sisanya, 
memasukkan ke dalam; 
dalam bagian yang tak tersiar 


πŸŽ† PAM, Pada Suatu Siang 
Di musim kemarau 
Tenggorokannya berhenti 

Diputar, digiring dan tetap berhenti 
Muntah, tak bisa Disuruh, diam tak bisa 

Dipaksa, diam masih diam saja 
Diseret hingga berton-ton baja 

Mengikatnya jangan sampai lena 
Buktinya menerawang 
Di suatu kesempatan pernah tersiar Ada!


πŸŽ† Bukit Barisan 
Lahan seluas hektar memimpin di pucuk daun lontar 
Dengan gagah mulutnya, bibirnya berkibar 
Ada kalanya tak sempat menahan tawa 
Terlalu gagah menyembul di antara beberapa 
Ratusan laskar memberondong di depan 
Menancapkan bom molotov 
hingga ke liang kerongkongan 

Menyayat, 
menebas paksa sekumpulan adrenalin yang tertancap 
Beradu pada sekian hektar 
Berkelakar di antara bagian-bagian badan 
Terkecoh sampai mulut berbusa 

Ternganga; tiba-tiba, tak lagi seperti sedia kala 


Kuncung Pak Kumis 
Dicukur lagi hari ini 
Bulan lalu yang sedikit memanjang; membuat gatal 
Tak pernah dibiarkan lagi setelahnya 
Gunting, sisir, kaca, silet, serbet 

Serbet untuk dipakai Bu Kumis meronde 
Setiap siang meronde, wedang ronde 

Di antara batas akar mahoni 
Di atasnya tertumpuk; rambut Pak Kumis 
Menari jika angin menyisir tipis 


πŸŽ† Masjid, Pada Suatu Subuh 
Sayup-sayup beberapa bayang mengekor; 
bersambut, 
datang bersama Pak Jon, Numinah, 
serta berderet tukang sawah 

Bagi yang sempat, anak dibawa, ada 
Gulita masih ada; 
tak jelas mana rupa 
Dinyalai lampu teplok; lumayan, ha...ha... 

Berdesakan di area kecil, sempit, 
pengap; dari kayu dengan atap lontar 
Alas kaki jadi bencana; 
tak terlihat mana miliknya 
Berputar, diputuskan membawa sepasang; 
yang baik dibawa pulang 

Lampu neon ditemukan; jelas 
Menguning kemudian memutih; 
semakin putih semakin irit 
Bernyala-nyala di pucuk, di akar, di pojok, tengah, di mimbar 
Alas kaki, ia ada berkata 
Satu, dua gelintir; 
Pak Jon, Numinah, serta berderet tukang sawah 
Bagi yang sempat membawa anak, tidak ada 


πŸŽ† Literal Jala 
Suatu hari, 
bahkan suatu malam takdir mendatangi, datang! 
Menjamu para pemula bertanya tentang bahasa; 
Jika simbol atau isyarat, 
angin juga di dalamnya bergerak 
dan mengobrak-abrik suasana, 
berkelebat sekilatan guntur di savana; 
berkata dalam bahasa 

Malam kian datang 
Kabut tipis bergumpal di langit-langit 
Bertatap nafas saling mengerut 
Ketika jalan tak senantiasa lurus, 
ketika jala kian meregang, 
ketika tiba-tiba tiba pada sekujur badan; 
ada di antara pertapa yang lalu-lalang 

Jala, kabut yang berwibawa 
Kepingan yang membawa isyarat sedemikian rupa 
Pembawa angin namun tak pernah sampai 
Merembet melalui celah yang terbuka 
Jika semua mampu berbicara 
Apa guna mulut ini bersuara 


πŸŽ† Di Trotoar 
Awan tersenyum cerah 
sambil baris berarakan di atas kepala 
Tipis-tipis semilir angin
 sesekali menerpa pendengaran; 
kadang riuh, 
kadang pula tak berhembus sama sekali; 
mati, kaku sebagaimana jasadmu terlihat begitu kini. 

Sedang di atas sana, 
tahulah kamu 
Sesekali kau menengadah; 
entah berdo’a atau sekedar reflek 
hingga wajahmu menatap angkasa. 
Sejenak kemudian, layu tertunduk. 
Hanya sedikit sisa tenaga 
dan kau gunakan apa adanya 

Langkahmu, 
kau buat setakberdaya mungkin; 
terseret oleh semburat kekecewaan 
yang terpancang jelas di ronamu. 

Atau, dirimu memang sedang berada di posisi 
yang sungguh tak mampu, barangkali? 


πŸŽ† Jakarta 
Malam-malamnya tak pernah malam 
Pagi kembali seperti sedia kala 
Jantung kota, berdegum selayaknya nyawa 
Sekali mati, mati semua 

Bising knalpot, 
moncong-moncong pengepul asap hitam 
Baik yang bertingkat tinggi atau bukan 
Mana milik kami, kawan? 

Pak Presiden yang terhormat 
Jakarta sejenak perlu tidur 
Dengan jantung yang masih harus terus berdetak 
namun butuh tidur 

Sekali-kali, biar pikiran ini berhenti berpikir 
Masalah, selamanya tak kan habis 
meski ribuan kali dipikir pun 


πŸŽ† Sebelum Sampai pada Titik Kelelahan 
Jangkar yang membujur 
Panorama kapal di pelabuhan 
Hijau, kuning, menggetarkan 
Bersambung dengan cakrawala di samping lautan 
Biru, kadang hijau bercampur cokelat di tepiannya 
Pasir putih, hitam, milik siapa 

Di beberapa sana, Pak Lurah menguasai 
Mendanai sekenanya kemudian menguasai 
Jika semua seperti dia 
Lalu kami ini punya apa… 


πŸŽ† Sekembalinya 
Kaki ini telah terseret sejauh beberapa mil 
Terpaksa meronta namun tak bisa 
Pasir panas di bawah persis matahari 
Menusuk perih hingga ke jantung 
Membara, terbawa angin panas gurun 
Masih juga harus seperti ini 

Setiap pagi kembali seperti ini 
Tak ada yang peduli 
Jiwa kami ini 
Pernah tidak sekali tahu 
Sekali-kali biar tahu diri kami ini 
Apa. 


πŸŽ† Menapaki jejakmu 
Dalam mimpi seorang anak bumiputera 
Dilihatnya insan dengan kilauan sayap penuh cahaya; 
di setiap bagian dirinya 
Ia tertegun. 

Sekali dua kali dipandangi, 
semakin besar hasrat untuk mendekati; 
sinar yang terpancar dari pekat malam 
Ia tersenyum. 

Tahulah ia akan insan penggetar hatinya itu 
Sebuah jiwa yang sepenuh hati 
Menjadi penerang di antah berantah ini 
Sebuah kedamaian 
Penyuara obor yang menggelorakan 
Pelita, pembunuh kegelapan 
Dengan cahaya bak sutera bersulam emas 
Tak pernah padam meski tak seorang pun yang datang memuji 

Setiap syairnya membangkitkan keberanian 
Hati nan lembut selaksana embun pagi; 
peneduh kegalauan, penenang keresahan 
Karena dia adalah dia 
Yang tak tinggal diam kala mendengar jeritan 

Si anak terbangun 
Seutas senyum terpancar kemudian 
Jejak itu 
Perang belum usai, kawan! 
Selamanya, musuh tinggal diam 
melihat kita tertawa!


Okey teman-teman, sampai di sini dulu ya postingan aku tentang puisi-puisi yang puitis. Ada juga loh kumpulan puisi aku lainnya. Silahkan cek di blog ini ya. Salam.

Comments

Popular posts from this blog

Haiss!

#minicerpen "Apa ini waktunya, di mana seorang wanita yang tidak memiliki kecantikan fisik, hanya dijadikan bahan lelucon, meski hatinya baik? Dan para lelaki berbondong-bondong mengejar cinta wanita bergaun seksi meski ia tahu bahwa tak ada sopan santun di perilakunya..." "Kamu itu bodoh!" Rani menyibakkan jilbab yang menutupi wajah, memutarkannya melilit di kepala, lalu menancapkan jarum di ujung sana. "Bodoh sekali!" imbuhnya. "Itu kenyataannya," ujarku dengan wajah layu. "Kenapa lelaki murahan seperti itu sampai bisa mempengaruhi kepercayaandirimu seperti ini, hah!" "Itu kenyataannya," ulangku. "Apa cuma gara-gara Rino mutusin kamu tanpa alasan jelas, terus jadi gini?" "Alasannya jelas Rani! Dia punya pacar yang lebih cantik dari pada aku!" "Dan kamu menangisi lelaki seperti itu?" "Aku nangis bukan karena itu. Tapi...ini karena aku tidak cantik. Kenapa aku tidak bisa cantik? Jika ...

Puja Mandala, Wajah Toleransi Umat Beragama di Bali

Puja Mandala Toleransi umat beragama di Indonesia memang sudah tidak diragukan lagi. Termasuk juga yang ada di Pulau Bali. Hal itu tercermin dalam satu kawasan wisata religi yakni di Puja Mandala Di Puja Mandala ini ada lima tempat peribadatan untuk enam agama yang diakui di Indonesia. Kenapa lima tempat ibadah untuk enam agama? Karena Puja Mandala ini sudah lebih dahulu dibangun sebelum agama Kong Hu Chu diakui di Indonesia. Jadi, Puja Mandala dibangun tahun 1994, sedangkan agama Kong Hu Chu diakui di Indonesia sejak masa kepresidenan Abdurrahman Wahid yakni antara tahun 2000-2001 (silahkan komen jika aku salah ya). Jadi, ya begitulah gaes. Sudah terlanjur dibangun lima tempat ibadah ya. Pura Jagatnatha Oke, kita mulai yang pertama. Ini ada Pura Jagatnatha. Di pintu masuk pura, ada keterangan bahwa yang akan beribadah diwajibkan mengenakan pakaian yang layak, sopan serta dilarang pakai rok pendek ya untuk perempuan. Selain itu, juga dilarang pecicilan dengan menaiki atau memanjat semu...