#minicerpen
Karena dia adalah adik kelasku. Rasanya aneh jika ceweknya lebih tua. Apalagi, kami di sekolahan yang sama. Kelas SMA dan SMP berada di satu wilayah. Dan aku melihatnya setiap hari.
Kami memiliki jadwal mapel olahraga yang sama. Jadi, begitu saja semuanya terjadi. Kami jadi saling kenal dan terkadang juga berebut bola di ring basket.
Sepulang sekolah, setelah mengikuti ekstrakurikuler, kami bertemu di halte depan. Saat itu hujan. Dia berteduh di sana setelah aku duduk lima menitan.
'Baru pulang, kak?' sapanya.
Aku mengangguk saja sambil tersenyum. Kemudian, dia duduk di sebelahku.
'Bajumu basah gitu Kak. Mau pakai jaketku?'
'Nggak usah. Nanti sebentar lagi juga reda.'
'O. Temannya mana?'
'Kayaknya masih pada di basecamp. Tadi niatnya mau pulang duluan. Eh, sampai gerbang malah hujan.'
'Tak anter saja gimana?'
'Jalan kaki?'
'Aku bawa motor. Tapi, masih di dalam. Tadi baru saja ada perlu di luar.'
Lantas, aku menerima tawarannya. Aku tidak tahu apakah dia menganggap aku cewek gampangan atau murahan. Yang jelas, aku hanya ingin segera sampai rumah saja. Baju basahku bikin dingin. Dan dia juga tidak terlalu menakutkan. Iya kan, dia adik kelas jauh di SMP. Mau macam-macam apa berani?
Tapi, sejak saat itu, dia jadi sering menawarkan diri untuk mengantarku. Teman-teman dia mulai tahu dan mereka memberikan banyak komentar yang pada intinya menuduhku sebagai tante-tante yang ngrayu berondong. Rasanya seperti itu. Ugh!
Jadi, ketidaknyamanan itu membuatku mulai untuk jaga jarak. Dan semakin sering aku menjaga, semakin sering pula aku merindukannya.
Apakah rindu saja sudah bisa menjadi pembuktian cinta?
Aku pun tidak tahu. Bertahun-tahun berikutnya, kami bertemu lagi. Posisinya, aku sebagai guru PPL, sedangkan dia adalah murid SMA yang semakin terlihat tampan.
Comments
Post a Comment