#minicerpen
"Ini permintaan terakhir kakekku sebelum meninggal. Dia ingin melihatku menikah dengan wanita baik-baik. Kau tahu kan, aku sudah tidak memiliki orangtua sejak kecil. Jadi, bisakah kau membantuku membahagiakan satu-satunya keluargaku?"
Aku berpikir keras. Bagaimana aku harus menjawab permintaan Dani itu. Dia itu adalah pacar Indah, temanku sendiri. Ini adalah hal paling gila yang pernah kualami seumur hidupku.
"Kenapa bukan Indah saja yang kamu paksa?"
"Dia sangat keras kepala. Dia tidak mau menikah sebelum lulus kuliah. Sementara kau tahu kan? Masih butuh waktu satu tahun untuk itu. Kakekku apa masih bisa bertahan selama itu? Dan lagipula, aku tidak tega melihatnya menunggu dengan tidak tenang."
"Tapi ini pernikahan, bukan pacaran. Bagaimana jika dalam proses itu tiba-tiba Indah setuju untuk menikah denganmu? Kamu akan ninggalin aku kan?"
"Aku tidak tahu."
Mendengar jawaban itu hatiku serasa hancur. Bukan karena aku mencintainya. Tidak. Tapi aku merasa bahwa tidak ada seorang lelaki pun yang memprioritaskanku dalam hidupnya. Aku hanya berperan sebagai cadangan. Dan ini sangat menyakitkan.
Jadi, aku harus tahu diri sejak awal. Bahwa jika aku menerimanya, aku hanya akan menjadi bahan tertawaan semua orang. Tidak, tidak lagi seperti itu.
Aku sudah pernah dicampakkan oleh sebuah taruhan yang dibuat mantan pacarku. Jika dia bisa mendapatkanku, maka dia akan mendapatkan sejumlah penghargaan dari teman-temannya. Jadi, sudah cukup.
***
Dua minggu setelah pertemuan itu, aku masih menjaga jarak dengan Dani. Indah sebetulnya sudah tahu tentang ini. Tapi, seperti yang dikatakan Dani, dia cuek.
Indah memang belum ingin menikah. Dia pernah bilang padaku bahwa dia pingin mencoba bekerja di bank. Itu menurutnya keren sekali. Cantik dan juga cerdas.
Dan pada awal pendaftaran, tentu saja statusnya harus masih single. Belum pernah menikah dan bersedia untuk tidak menikah dulu selama jangka waktu tertentu.
Aku jadi bingung. Apa yang harus aku lakukan?
Di tengah kebingunganku, Dani menemuiku lagi. Dia memohon agar aku mau diajak ke rumah sakit. Setidaknya, biar kakeknya beranggapan bahwa dia sudah punya pacar. Untuk kali ini, aku sedang tidak punya daya untuk menolak.
"Jadi, dia pacarmu?" Kakek Dani memandangku sayu. Lantas, kakek tersenyum. "Kakek ingin melihat kalian segera menikah."
Deg deg deg...
Keluar dari kamar rumah sakit, Dani seperti pasrah. Bahwa seolah-olah, akulah satu-satunya dewa penyelamat baginya. Aku jadi tidak tega. Bagaimana ini?
Di sisi lain, aku berpikir keras. Apakah pernikahanku harus didasari insiden seperti ini? Aku selalu bermimpi bahwa kelak aku akan menikah dengan lelaki yang sangat aku cintai. Atau minimal, dia sangat mencintaiku. Tapi ini, kami bahkan tidak saling memiliki perasaan itu.
"Kenapa harus aku? Kau punya banyak teman wanita kan?"
Dani memandangku dengan pandangan setengah kosong. "Saat Indah menolak untuk menikah denganku, jujur saja, hanya kamu yang ada di pikiranku. Kamu wanita yang baik. Aku sudah mengenalmu sejak semester satu kan? Mungkin suatu saat aku bisa mencintaimu."
"Bagaimana jika tidak bisa?"
"Aku tidak tahu."
"Kenapa hanya selalu menjawab tidak tahu?"
"Apa kau yakin jika aku selamanya bisa mencintai Indah jika dia terus seperti itu?"
"Mana aku tahu?"
"Kau sendiri juga menjawab tidak tahu."
"Huft."
"Jangan ditekuk gitu sih mukanya. Jelek tau!"
"Biarin."
"Jadi gimana?"
"Aku takut jika kau meninggalkanku..."
"Kau pun juga bisa meninggalkanku kan?"
"Aku tidak mungkin berhianat, apalagi jika sudah terlanjur menikah, aku pasti konsisten dan tidak berpikir untuk selingkuh."
"Kalau begitu kita sama."
"Tapi jika besok tiba-tiba Indah mau menikah denganmu? Bagaimana?"
Dani berpikir sejenak. Kemudian berujar, "Aku akan memilihmu. Baru beberapa detik yang lalu aku merasa bahwa kita memiliki pandangan yang sama dalam menghargai sebuah hubungan, dan kurasa aku mulai mencintaimu karena hal itu."
😱😍😮
Comments
Post a Comment