Pada sore yang masih tampak cerah dengan segumpalan awan tipis yang bergelantungan di langit, aku berada di sini, di alun-alun Kota Semarang dengan Rifkan.
Di depan kami ada sekumpulan anak-anak yang bermain sepatu roda, juga serangkaian pemuda yang bermain basket di tengah lapangan.
Sore itu, bundaran Kota Semarang masih tampak padat oleh keriuhan kendaraan yang berlalu lalang. Tapi, Rifkan sepertinya hening. Apa mungkin dia tidak bisa menikmati kencan pertama kami? Sedari tadi, hape terus yang ia ajak ngobrol.
"Kalau kamu sibuk, kita bisa pulang sekarang," kataku.
"Ah, nggak. Nggak papa kok. Nggak sibuk," balasnya dengan sedikit gugup.
"Ooh...tapi sepertinya kamu sibuk."
"Nggak. Sumpah. Ini, aku...em, maksudku, kita baru saja bertemu. Jadi, aku nggak tahu harus berbicara tentang apa."
"Ooh."
"Oh iya, kenapa kamu mau pergi denganku? Kamu tahu nggak kalau ibuku itu sukaa banget sama kamu?"
"Iya. Aku tahu."
"Dan dia ingin kita bisa menikah."
"Aku tahu."
"Terus?"
"Terus kenapa? Kamu nggak suka sama aku?"
"Ah, bisakah rasa suka itu datang secepat ini? Kamu sendiri, apa kamu menyukaiku?"
"Coba katakan padaku, kenapa aku harus tidak menyukaimu?"
"Haha...jadi, kau benar-benar menyukaiku?" dia tampak kaget sekaligus senang. Em, lebih tepatnya itu ekspresi girang sekaligus konyol. "Kenapa kau menyukaiku?"
"Karena kamu cukup tampan 😑. Ada chinese-chinese-nya. Jadi, kalau kita menikah nanti, mungkin saja anakku, em, maksudku, anak kita akan putih dan imut-imut banget. Asalkan matanya nurunin aku aja. Biar nggak terlalu sipit."
"Ah..haha...kamu bahkan sudah berpikir sejauh itu kah?"
"Emangnya kenapa?"
"Terus, apa lagi? Apa lagi yang membuatmu menyukaiku?"
"Kita berasal dari keluarga pengusaha. Orangtuaku dan orangtuamu sudah lama berkolaborasi. Jadi, akan mudah bagiku untuk membaur dengan keluargamu."
"Terus?"
"Em...apalagi ya?"
"Kenapa kamu nggak berpikir tentang cinta? Apa kamu bisa menikah tanpa cinta?"
"Bisa."
"Benarkah?"
"Aku dulu pernah mencintai seseorang. Bukan sekali dua kali. Tapi berkali-kali. Cinta yang benar-benar murni. Tak ada unsur agama, harta, tahta, atau apa pun. Aku hanya menggunakan perasaan saay bersamanya.
Saat ia tidak seiman denganku, aku tetap mencintainya. Saat ia tak sepemikiran denganku, aku tetap mencintainya. Dan bahkan saat ia menduakanku pun, aku tetap ingin bersamanya karena aku mencintainya.
Semakin hari aku berpikir. Cinta macam apakah yang aku jalani ini? Aku nggak bisa berpikir karena aku terlanjur mencintainya. Cinta yang seperti itu. Cinta yang sungguh tidak jelas. Cinta yang membuatku capek berpikir.
Apa kau paham dengan apa yang aku katakan ini?"
Rifkan seperti tampak berpikir. Pandangannya beralih pada segelas white coffe yang ada di genggamannya. Dia cuma tersenyum. Lalu diam saja.
"Kamu bosan ya dengan kencan ini? Atau, kau bosan dengan ceritaku?"
"Nggak. Nggak papa."
"Kenapa cowok sulit sekali berkata jujur? Kamu nggak usah jaga perasaanku. Jika kamu tidak menyukaiku ya katakan saja, sebelum aku terlanjur jatuh cinta padamu. Jika sudah terlanjur, maka aku akan benar-benar seperti orang gila jika kamu meninggalkanku."
"Ah, kata-katamu..."
"Maaf. Mungkin kita tidak usah bercerita apa pun. Bukankah kita hanya harus menikmati suasana ini kan ya?"
"Yups. Kau mau naik becak itu? Atau sepeda mungkin?"
"Em, nggak sih. Tapi, kalau kamu pingin, aku akan temani."
Jadi, kami menuju ke sana. Ke kerumunan persewaan becak dan sepeda hias. Setiap gerak-geriknya aku perhatikan. Keramahannya pada penyewa becak, gaya supelnya, santai...kurasa aku memang betul-betul menyukainya.
Orang bilang, kencan pertama itu adalah penentu. Jika dia sudah ilfeel di kencan pertama, habislah kamu!
Jadi, apakah aku benar-benar menginginkan lelaki ini?
Sesekali kulihat senyum ramah itu, wajah yang teduh itu, juga sorot mata yang memancarkan kelembutan,...oh, kurasa, aku benar-benar jatuh cinta padanya.
Comments
Post a Comment