#minicerpen
Ini isi surat itu:
"Maaf sebelumnya mbak. Aku terpaksa mengirim surat ini kepada mbak karena aku tidak tahu harus mengadu kepada siapa. Aku Dania, pacarnya Mas Adit. Aku baru saja tahu jika Mas Adit sudah bertunangan dengan mbak. Karena sejak awal perkenalan kami di Facebook, Mas Adit bilang kalau dia jomblo. Sekali lagi aku minta maaf. Bukannya mau merusak hubungan kalian. Tapi, sekarang aku sudah hamil mbak. Anaknya Mas Adit. Mas Adit baru bilang kalau dia sudah bertunangan saat kuberitahu dia tentang kehamilanku. Aku harus gimana mbak? Tolong aku..."
..................................................
Aku tidak melanjutkan membaca surat itu. Isak tangisku berubah jadi gemuruh yang dengan cepat menjatuhkan hujan air mata di pipiku. Adit, tunanganku. Dan bahkan tinggal sembilan hari lagi kami berencana menikah. Sedangkan undangan pun sudah terlanjur disebar.
"Bagaimana aku harus menjelaskan ini pada orangtuaku, Ta?" Aku ceritakan semuanya pada Tita, teman sekantorku.
"Aku nggak nyangka Adit seperti itu," Tita bahkan tampak lebih kaget dari pada aku.
"Aku ... dulu Adit pernah ngajak aku piknik ke Jogja. Nginep. Tapi, aku nggak dapat izin dari ibukku.
Apa mungkin dia mau jahatin aku saat itu ya Ta?"
"Hmm...bisa jadi," jawab Tita. "Tapi, jika emang Adit seperti itu, kamu beruntung karena kalian belum sampai menikah," imbuh Tita.
"Terkadang aku berpikir justru ingin berada di posisi wanita itu. Aku cinta sama Adit, Ta. Sangat mencintainya. Aku sungguh ingin memilikinya."
"Sekarang, kamu gimana? Pilih mempertahankan atau melepaskan?"
Kupandangi Tita sejenak. "Aku bahkan seperti tidak punya pilihan lain selain melepaskan. Aku merasa tidak punya hak...anak itu, meski...ah...aku bingung 😥"
Hari terus berganti dengan begitu cepat. Beberapa kali Adit menelponku, bilang bahwa ia mencintaiku dan ingin tetap melanjutkan pernikahan kami. Sementara itu, pacarnya yang sedang hamil muda itu pun terus memohon padaku, untuk anaknya, agar tidak lahir tanpa ayah.
Aku seperti dipukul kepalanya berkali-kali dengan palu. Seandainya saja undangan itu belum kusebar. Mungkin patah hati saja masih cukup.
Tapi, bagaimana jika ...bahkan tidak hanya aku, tapi seluruh keluarga akan turut menanggung malu. Aku bahkan tidak sanggup memberitahukan apa pun pada ibu.
Sedangkan di kantor, aku dan Adit masih juga harus bertemu setiap hari. Adit, lelaki dengan karirnya yang menanjak cepat, menjadi manajer di usia muda, lelaki impianku, calon menantu idaman ibuku, kini ...ya Tuhan, aku harus bagaimana?
Tiga hari menjelang pernikahan, aku berencana mengatakan ini pada orangtuaku. Sesuai dengan perkataan Tita, dia akan mewakiliku berbicara. Kau tahu, ini terlalu cepat. Aku bahkan belum ingin berkata apa pun, juga bertemu dengan siapa pun.
Seperti yang kuduga, ibuku benar-benar kaget. Aku tidak tahan melihat air matanya. Kemudian, aku segera mengurung diri di kamar begitu Tita pamit pulang. Aku dan ibu tidak saling bicara. Kami sibuk dengan tangis kami masing-masing.
Sehari penuh aku tidak keluar kamar. Dua hari lagi jadwal pernikahanku. Dan kurasa, teman-teman sekantor sudah tahu jika itu akan batal. Tita sudah mengurus semuanya.
Tapi, teman-temanku yang tidak sekantor, juga teman-teman orangtuaku yang jarang bertemu, mereka belum semuanya mendapat kabar mengenai kegagalan ini. Sehari sebelum pernikahan, masih juga ada beberapa yang datang. Aku merasa nelangsa melihat itu...tamu-tamu itu seperti mengungkit ini.
Jadi, pada hari H, aku memutuskan untuk piknik. Sedangkan rumah, kubilang pada ibu dan ayahku, biarkan saja terkunci. Jika ada satu dua tamu yang masih saja datang, maka biar para tetangga yang mewakili untuk berbicara.
Jadi, aku piknik. Kebetulan atasanku bersikap manusiawi. Aku izin sakit dan dia tidak banyak tanya-tanya lagi. Lagipula aku jujur. Benar-benar sakit hati.
Kulihat sekeliling. Rerumputan yang berubah jadi abu-abu karena tertutup debu jalanan. Angin yang semribit masih bisa kurasakan dari jendela bus yang terbuka. Cukup sejuk.
Tapi, aku tidak tahu harus piknik ke mana?
Kuikuti saja sepanjang jalur yang dilewati bus ini. Dari Demak, Purwodadi, Blora. Terus kuambil lagi jurusan ke Timur.
Tiba-tiba saja aku ingat Kota Malang. Kota kecil yang memiliki berbagai macam panorama pantai yang cantik, juga Masjid Tiban yang katanya dulu dibangun oleh bangsa jin dalam satu malam. Terus, juga ada wisata Kota Batu yang semakin hits itu.
Jadi, kuputuskan untuk piknik ke Malang. Malang, kota yang namanya sama dengan nasibku.
Melanjutkan perjalanan ke depan, aku serasa tidak ingin pulang.#
Comments
Post a Comment