#minicerpen
"Satu per satu, orang yang kamu sayangi akan meninggalkanmu. Entah siap atau tidak," Dilan berkata sangat lemah padaku. "Entah meninggalkan secara baik-baik dengan jalan kematian, atau dengan jalan yang menyedihkan semacam penghianatan."
Aku masih terdiam. Mendengarkan ucapannya sambil menikmati angin yang bertiup kencang. Pandanganku masih kosong ke arah dedaunan yang meranggas tertiup angin.
"Sejak kapan?" tanyaku.
"Apa?" tanyanya.
"Sejak kapan musim dingin ini datang?"
"Oh...aku juga tidak tahu."
"Udaranya sangat dingin akhir-akhir ini. Aku nggak suka dingin. Kamu tahu, aku punya alergi. Jadi, ... coba pegang tanganku," kataku.
Dia hanya memandang saja.
"Iihhh...coba saja," kuraih paksa tangannya untuk merasakan jari-jari es-ku.
"Icy finger," katanya.
"Iya. Dingin sekali kan? Jangan dilepas. Tanganmu sangat hangat."
"Kau mau pakai jaketku?"
"Tidak usah. Badanku cukup kuat. Hanya di jari-jari ini saja."
"Oh. Baiklah."
Lantas, orang-orang mulai berlalu-lalang di depan kami. Sebelumnya, kami sama sekali tidak saling kenal. Hanya sekali bertemu di bioskop saat bersama-sama keluar sehabis acara selesai. Seseorang mendorongku hingga aku terjatuh, dan dia membantuku memunguti serpihan handphone-ku yang berceceran di lantai. Kebetulan dia punya counter di rumah yang tak jauh dari lokasi kami bertemu. Dia bantu aku mengganti tempered glass dan menyarankan agar aku lain kali pakai kondom buat hp.
Itu kejadian sudah satu bulan yang lalu. Kami tidak saling menyimpan nomor, juga tidak saling janjian akan bertemu untuk yang kedua kalinya di bioskop ini.
"Eh, sejak kapan kamu suka film drama? Biasanya cowok kan nggak suka..."
"Em...lupa. Awalnya cuma iseng. Pingin cari suasana baru. Tapi, ternyata asik juga. Kamu sendiri?"
"Aku...sejak lahir mungkin. Aku merasa seperti ada harapan baru saja kalau nonton film. Tokoh utama selalu menjadi pihak paling mengenaskan di awal. Dia ditipu orang terdekat, ditinggalkan, dihianati, tapi endingnya dia akan bertemu dengan orang yang baik, yang bisa menghapus semua memori buruk dalam hidupnya."
"Hem," dia terdiam sejenak. "Apa kamu tidak takut padaku?"
"Kenapa?"
"Aku orang asing dan bisa saja menghipnotismu. Mengambil barang-barang berhargamu."
"Untungnya, aku tidak memiliki barang berharga. Jadi, silakan saja...aku tidak takut. Belum gajian. Di dompetku hanya ada uang lima ribu. ATM juga kosong. Aku gak punya perhiasan. Hp juga sudah cacat, kamu di counter, pasti gak berani ambil hp gak berguna seperti ini," kutunjukkan hpku padanya.
"Tapi kamu cewek," katanya. "Aku bisa saja meracunimu untuk kubawa ke tempat tidur. Kamu tidak takut?"
"Bawa saja aku. Kamu yang akan menyesal jika melakukannya."
"Kenapa aku?"
"Karena aku akan punya alasan untuk menuntutmu, menikahiku, jika misalnya aku hamil. Atau kalau tidak, aku akan melaporkanmu ke polisi. Biar dipenjara."
"Apa kau sangat ingin menikah?"
"Dulu...iya, sempat. Sebelum pada akhirnya aku jadi malas sendiri. Tapi, ah sudahlah. Sekarang lepaskan tanganku. Ini sudah mulai tidak dingin."
"Oh iya."
"Ini sudah mulai gelap. Kamu tidak pulang?"
"Iya. Baiklah. Makasih untuk makan sore-nya ya," kataku.
"He em. Apa aku boleh menyimpan nomormu? Besok kita bisa janjian nonton bareng. Itu pun jika kamu mau."
"Dilan, apa kamu punya pacar?"
"Kenapa?"
"Cuma pingin tahu. Maksudku, aku tidak mau nonton bareng sama pacarnya orang. Nanti pacarmu bisa salah paham. Atau, tunangan mungkin..."
"Aku nggak punya. Jadi, tenang saja. Nggak akan ada yang peduli aku mau ngapain pun."
"Okey. Baiklah. Aku tenang kalau begitu. Nunggu aku gajian ya...besok kita nobar lagi."
Dalam sebuah film drama, tokoh utama bertemu tidak sengaja dengan jodohnya di saat-saat sepele. Kemudian, waktu akan memproses semua kisah-kisah itu, membingkainya dengan efek-efek romantisme sederhana yang penuh warna. Apakah Dilan akan menjadi part happy ending dalam kisah dramaku. Kita lihat saja nanti.
Comments
Post a Comment