#cerpen
Tiga bulan sudah Risti menganggur. Puluhan surat lamaran pekerjaan ia sebar ke berbagai penjuru pabrik. Tapi, tak satu pun ada panggilan. Risti capek menunggu. Sementara keuangannya sudah sangat menipis.
Mendadak pada malam hari pukul delapan, Lek Kardi datang ke rumahnya.
"Ini aku minta tolong sangat. Biduan lain sudah pada dibooking. Kamu nyanyi lagi ya," permintaan Lek Kardi sungguh sangat menggiurkan. "Kemarin aslinya Lia bisa. Tapi mendadak dibatalkan karena alasan sakit tenggorokan. Jadi, ini aku minta bantuan sangat ke kamu Ris."
Sayup-sayup dari dalam kamar, terdengar suara ibunya yang batuk-batuk. Sementara di teras, terdengar bunyi langkah kaki bapaknya yang baru pulang dari jualan bakso keliling.
Wajahnya yang berkeriput tampak lusuh. Sementara gelintir-gelintir bakso itu seperti tidak berkurang sama sekali dari saat berangkat tadi.
"Ada tawaran nyanyi lagi Pak. Gimana?" Risti meminta persetujuan bapaknya.
"Ya terserah kamu, Nduk. Yang penting hati-hati saja. Nyanyi ya nyanyi saja."
Risti berpikir keras. Bagaimana ini?
Tiga tahun silam, Risti memang banyak orderan. Selain karena suaranya yang lembut, khas cengkok dangdut, wajahnya juga terbilang menjual. Tapi, itu dulu.
Sejak setengah tahun lalu, Risti memutuskan berhenti karena dia pikir dia akan menikah dengan lelaki yang sudah dipacarinya selama satu tahun belakangan.
Pacarnya bilang, kalau nikah nanti, Risti gak boleh jadi biduan lagi. Kerja di pabrik lebih baik, katanya. Dan ia pun menurut. Karena jadi biduan memang tidak sejalan dengan hati nuraninya. Dia memang suka nyanyi. Tapi, namanya juga biduan kampung, harus selalu siap berhadapan dengan para lelaki hidung belang yang suka colak-colek.
Jadi, permintaan pacarnya pun ia turuti. Pernah sekali Risti keterima kerja di pabrik garmen. Tapi, setelah kontrak tiga bulan habis, dia tidak diperpanjang lagi.
Lama jadi pengangguran, lama-lama tidak jelas juga hubungannya dengan Andi. Dulu Andi yang bilang ingin segera menikah. Tapi akhir-akhir ini, Andi sering bilang sibuk dan capek saat Risti membahas pernikahan. Dan sekarang ini, mereka sudah putus.
Risti benar-benar kehilangan semua. Pekerjaan, juga cintanya. Risti merasa hancur. Ditambah sekarang, rizkinya juga sangat seret. Mau bergantung pada siapa? Sementara bapak dan ibunya sudah tua. Kakak-kakaknya pun sudah sibuk mengurusi keluarga baru mereka masing-masing.
"Jadi, gimana Risti. Mau ya?"
"Ya sudah lah. Aku mau," jawabnya kemudian.
***
"Kau tahu Bunda Inul kan? Awal-awal jadi biduan, dia pakaiannya seksi, aksi panggungnya juga ngeri. Tapi sekarang ...
Maksudku begini. Saat kamu awal-awal terjun jadi biduan, kamu harus berani gila. Supaya apa? Biar orang kenal kamu. Nanti kamu akan sering dapat job juga. Kalau sudah terkenal mah, kamu mau pake jilbab pun akan tetep laku. Kayak Bunda Elvi itu, atau Dedek Lesti, misalnya. Itu kalau sudah terkenal. Nah kamu kan belum..."
Risti mendengarkan saja saran demi saran dari orang-orang terdekatnya di dunia perdangdutan. Jika memang ini baik, maka ia akan terus melanjutkannya. Lagipula, dia amat sangat butuh uang. Uang yang tidak sedikit.
Jadi, kesempatan pertama ini tidak akan dia sia-siakan. Dibuangnya jauh-jauh rasa malu, gengsi, dan walau ini tidak sesuai dengan hati nurani. Risti, santri putri lulusan pondok pesantren Az Zahra, harus berpakaian setengah telanjang demi uang. Siapa peduli! Dia memang sedang butuh uang.
Pertama kali bernyanyi di atas panggung, Risti masih agak kaku. Tapi, kata Mami, dia sudah lumayan di pengalaman pertama ini.
Mami bilang, suaranya masih bagus meski sudah enam bulanan tidak diasah.
Berjalan selama beberapa bulan, Risti mulai menikmatinya lagi. Dan juga, dia sudah mulai bisa membayar semua tagihan yang datang ke rumah. Termasuk tagihan air, listrik, cicilan bank, dan juga serentetan hutang dari para tetangga yang pernah mereka mintai bantuan meminjamkan uang.
Tapi, pikirannya kembali melemah saat bertemu dengan mantan pacar, yang juga merupakan putra Abahnya di pesantren dulu.
"Kamu banyak berubah. Kupikir, kita bisa melanjutkan kisah kita yang belum selesai. Tapi... kurasa aku berharap pada orang yang tidak aku kenali lagi," kata Agus.
Agus hanya terdiam. Memandangi rambut Risti yang tidak tertutup apa pun, juga paha mulusnya yang berkilatan karena lotion.
Risti pun merasa malu dengan tatapan itu.
"Maaf sudah membuatmu kecewa Mas."
Risti tidak tahan dengan perasaan bersalahnya. Maka ia pun pergi, tidak menoleh lagi. Tiga puluh menit lagi dia harus bernyanyi di atas panggung yang berjarak lima ratus meter dengan pesantrennya dulu itu. Jadi, mood itu nggak boleh buruk.
“Aku harus tetap ceria. Harus tidak berperasaan. Begitulah yang namanya profesional,” ujarnya pada diri sendiri.
***
"Haha, dasar cinta monyet," Mami menyindir.
Risti hanya manyun saja.
Tidak. Dia bukanlah Mami yang galak. Bahkan, aku sudah merasa bahwa dia lebih terasa seperti ibu kandung sendiri. Jadi, terkadang aku curhat apa pun, termasuk kegalauanku ini. Bahkan setelah beberapa bulan putus, masih saja ada konflik batin.
"Risti, kamu dengar ini baik-baik. Jika dia benar-benar mencintaimu, beranikah dia menanggung semua biaya hidupmu, hidup keluargamu, kedua orangtuamu?" kata Bu Bos. "Lihatlah, dia sendiri masih kuliah. Dan dia hanya anak manja yang masih minta uang saku sama orangtua. Kenapa dia seberani itu mengatur hidupmu? Kecuali jika dia sudah bisa menghasilkan uang, kemudian mengajakmu menikah, menanggung semua kebutuhanmu, maka dia berhak berkata seperti itu," jelasnya.
Risti masih mendengarkan.
"Tidak sayang, bukan dia yang lebih baik. Tapi kamu lebih baik, sangat lebih baik dari pada dia. Lupakan saja. Kamu akan dapat lelaki yang lebih baik. Setidaknya, lelaki dewasa yang mandiri, pejantan tangguh!"
"Hmmm," Risti tersenyum. "Pejantan tangguh? Itu cuma ada di Drama Korea kaleess."
"Hey, kali aja beneran ada. Jadi, bersemangatlah menyambut pangeran tangguhmu itu datang padamu. Okey."
"Haha. Okey deh."
"Hari ini jadi ke rumah sakit?"
"Iya. Habis nyanyi nanti Mam."
Dokter bilang, Ibu Risti sebaiknya dirawat beberapa hari di rumah sakit supaya bisa lebih mudah memantau kesehatannya yang semakin sering batuk.
***
Pada job berikutnya, sekali lagi Risti bertemu dengan putra Abah.
"Sejujurnya, aku kecewa. Meski sekarang kita sudah tidak berhubungan, tapi apa iya kamu harus seperti ini? Lihatlah pakaianmu! Seperti orang yang tidak pernah mendapat didikan agama."
Risti inginnya hanya diam dan diam. Tapi, dia tidak bisa.
"Kamu, pergilah. Kamu ini nggak tahu apa-apa. Jadi, diam dan pergilah!"
Tiba-tiba saja dia merasa muak melihat wajah lelaki yang pernah sangat dicintainya.
"Hey, ada apa ini?"
Aku melihat ke arah sumber suara sambil mengusap air mataku. Wahyu tiba-tiba saja datang. Dia tukang shooting yang sering aku lihat. Tapi, kami memang jarang berbicara kalau tanpa ada hal yang sangat penting.
"Kamu siapa?" tanya Agus.
"Kamu yang siapa?" balas Wahyu. "Hey, ini wilayahku. Jadi, jangan macam-macam sama artisku. Ngerti?!"
"Hah, artis," Agus mencibir.
"Kau, pergilah, biar aku urus orang ini," Wahyu berkata pada Risti, "Aku pastikan bahwa dia tidak akan pernah mengganggumu lagi," imbuhnya.
Risti sedikit terpana dengan ucapan Wahyu, "Ah iya," jawab Risti begitu kesadarannya sudah pulih, "makasih."
Risti segera berlari kecil menuju belakang panggung. Di sana, ada Mami yang menyambut dengan senyuman aneh.
"Ah, jadi kau baru saja menemukan pejantan tangguhmu ya. Haha...cie cie.."
"Apa an sih, Mam?" Risti memalingkan muka.
Risti tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Yang dia tahu, dia hanya ingin membantu Bapak cari uang. Dia yakin, menyanyi adalah pekerjaan halal.
Dan mengenai menutup aurat, ya Allah, do’anya dalam hati, aku menjadi penyanyi terkenal supaya aku bisa tetap dicari karena suaraku, bukan karena penampilanku. Seperti Bunda Elvi, Kak Lesti dan penyanyi dangdut berbusana muslim lainnya. Aaminn.
“Sudah siap nyanyi?”
“Iya Mam. Sudah.”
Comments
Post a Comment