#minicerpen
Timo menatap kosong pada surat undangan di kedua tangannya itu.
"Jadi, dua minggu lagi pernikahanmu?" tanyanya dengan tanpa menatap Sikha.
"Iya," jawab Sikha. "Kamu bisa datang kan?"
"Sikha...apa kamu sama sekali tidak tahu?"
"Tahu apa?"
"Kita sudah berteman dekat sejak enam bulan ini. Apa kamu juga masih tidak tahu, atau memang tidak mau tahu?"
"Apa? Katakanlah. Jangan buat aku bingung."
"Aku suka sama kamu. Kupikir, kita bisa menikah suatu saat nanti. Tapi, sepertinya aku salah paham."
Sikha menatap nanar pada lelaki di hadapanya itu. Kelopak matanya serasa panas. Dan begitu saja air matanya mengucur deras.
"Kamu jahat sekali!"
"Kenapa?"
"Kita sudah bersama selama enam bulan. Iya kan? Selama itu pula, aku sudah sering cerita kepadamu, aku ingin menikah. Aku bukan gadis remaja yang bisa bersantai ria dengan kesendirianku.
Aku juga cerita jika orangtuaku ingin melihat putrinya ini menikah. Di mana perasaanmu saat itu? Aku bosan menunggumu yang tidak juga merespon. Kamu masih asik dengan permainanmu, dengan duniamu, dan entah. Aku hanya berpikir bahwa kamu sama sekali tidak menginginkanku."
Keduanya terdiam dengan pikiran masing-masing.
"Jadi, aku terlambat."
"Iya. Sangat terlambat!"
Sikha tidak lagi melanjutkan percakapannya dengan Timo. Dua minggu lagi dia akan menikah. Jadi, dia tidak ingin merusak kepercayaan yang sudah diberikan tunangannya itu.
Di saat ia membutuhkan seseorang, tunangannya itulah yang datang menawarkan diri untuk melindunginya, dan bukan Timo.
Lagipula, tunangannya itu adalah lelaki yang baik dan sangat santun. Sikha yakin bahwa dirinya kelak bisa mencintainya.
Hingga pada seminggu menjelang pernikahan, Sikha benar-benar menyucikan hatinya dari memikirkan Timo. Dia tidak membuka facebook supaya tidak melihat status Timo.
Sikha benar-benar takut jika perasaannya ke Timo kambuh lagi. Pada akhirnya, dia merasa yakin bahwa tunangannya itu adalah lelaki terbaik yang dikirimkan Tuhan untuknya.
Tapi, gemuruh tiba-tiba saja datang. Satu pesan singkat yang nyatanya bisa menghancurkan hati Sikha. Satu pesan singkat dari tunangannya.
"Maaf Sikha. Sepertinya aku tidak bisa menikah denganmu. Maaf. Aku sudah balikan sama mantanku."
Sikha reflek menjatuhkan hape dari genggaman tangannya. Untung jatuh di kasur. Jadi, tidak pecah. Dan tangisnya yang sesenggukan itu terdengar sampai ke telinga ibunya.
"Kenapa? Ada apa?" tanya ibunya.
"Bu...ibu...," Sikha tidak biaa melanjutkan bicaranya. Dia hanya menunjukkan pesan singkat itu.
***
Satu minggu setelah hari H pernikahan Sikha, Timo iseng membuka facebook. Dia sudah merasa cukup bisa melihat kenyataan bahwa Sikha menikah. Diam-diam, dia penasaran juga bagaimana wajah Sikha saat mengenakan gaun pengantin.
Tapi, disusurinya tiap beranda di akun Sikha, tak ada satu pun koleksi fotonya. Sepertinya, Sikha belum juga online sejak menikah. Mungkin sekarang mereka sedang berbulan madu, makanya tidak sempat buka facebook.
Aarrggghhhhhhh...Timo benar-benar merasa bahwa hidupnya sangat kacau.
Dalam masa galau, Timo berjalan-jalan ke alun-alun kota. Menikmati pemandangan para pemuda-pemudi yang sedang berpacaran.
Tak sengaja, ia bertemu dengan Sikha di sana. Sendiri. Tampaknya sedang melamun.
Timo berpikir keras harus menyapa apa tidak. Atau jangan-jangan, dia sedang menunggu suaminya di situ?
Wah, bisa baper nanti kalau melihat mereka bermesraan.
Jadi, ah sudahlah...
Sebelum Timo berjalan menjauh, sebuah suara memanggilnya. Itu suara Aini, sahabat Sikha.
"Hey Tim. Mau ke mana?"
"Balik. Sudah mau magrib ini."
"Jangan pulang dulu lah. Ayo temani aku, hibur Sikha. Kan biasanya kamu suka bercanda sama Sikha di facebook."
"Kenapa aku harus menghiburnya?"
"Kamu belum tahu?"
"Apa?"
"Pernikahannya kan batal..."
"Apa?!"
***
Di dalam kamarnya malam itu, Timo memberanikan diri untuk menelpon Sikha. Dia tidak ingin terlambat untuk yang kedua kalinya.
"Sikha, menikahlah denganku!"
Comments
Post a Comment