#minicerpen
Taman kota semakin ramai di sore hari. Ada sekumpulan remaja yang berteduh dengan masih mengenakan seragam putih abu-abu, juga segerombolan anak-anak yang bermain sepatu roda.
Di taman itu, kami bertemu. Duduk berdampingan di kursi taman sambil membicarakan masa depan.
"Aku ingin kita menikah,” kataku pada Rus. ”Atau jika tidak...”
”Jika tidak, apa?"
”Jika tidak, maka kita tidak usah bertemu lagi.”
"Apa kamu bilang? Mudah sekali kamu bicara. Kamu pikir, menikah itu mudah?”
”Aku nggak mau berpikir. Tapi aku mau bertindak. Bukan hanya sekadar memikirkannya seumur hidupku, sepanjang waktu, setiap waktu...aku bosan dengan hayalan-hayalan itu.”
”Tapi aku belum siap. Aku...akh. Pernikahan itu masih dua tahun ke depan di pikiranku. Aku baru saja bekerja tiga bulan yang lalu. Kamu tahu kan itu?”
”Aku tahu. Tapi kita sudah dua tahun lebih pacaran. Aku terima kamu apa adanya saat ini. Aku tidak minta pernikahan yang mewah, rumah mewah, perhiasan...aku cuma minta pernikahan. Itu saja."
”Tapi aku nggak bisa kalau sekarang. Pahamilah aku.”
Aku mulai malas bicara. Wajahnya yang dulu menawan, kini tampak hambar. Sudah tiga kali -kurang lebih- aku meminta pernikahan. Saat ia masih kuliah, katanya nunggu bekerja. Aku sudah menunggu. Dan sekarang, dia masih memintaku untuk menunggu.
”Baiklah kalu begitu. Kurasa, kita tidak perlu bertemu lagi.”
Aku beranjak dari kursi taman yang kami duduki. Meninggalkannya, dan tidak menoleh lagi.
Sepanjang jalan kenangan itu aku membayangkan perjalanan cinta kami. Bahwa apa yang kami lalui bersama itu sangat indah. Dia tidak pernah membuatku kecewa, kecuali saat aku meminta pernikahan. Hanya sesepele itu, tapi amat penting buatku. Menurutku, apa gunanya kebersaman indah itul, jika semuanya hanya semu.
”Dita, tunggu dulu Dit," dia mengejarku.
”Kamu jangan egois gitu toh. Beri aku waktu.”
”Berapa?”
”Dua tahun...em, satu tahun deh.”
”Cari saja wanita lain yang mau menunggumu. Jangan paksa aku untuk menunggu. Ini nggak akan baik buat kita berdua. Kita sudah berbeda prinsipnya.”
Kali ini, aku benar-benar meninggalkannya. Menyusuri taman kota dengan pepohonannya yang rindang. Tampak cantik oleh percikan sinar sunset yang mengintip di sela-sela dedaunan.
Senja yang cerah, untuk jiwa yang sepi.
Comments
Post a Comment