#minicerpen
Malam ini langit tampak cerah. Kulangkahkan kaki menuju sekolah yang berjarak seratus meter dari rumah. Lagi ada istighosah jelang kelulusan. Jadi, semua murid kelas XII diwajibkan untuk ikut.
Hanya ada sedikit ketakutan saja bahwa aku bakalan lulus atau tidak. Yang justru membuatku takut adalah setelah perpisahan itu. Apakah aku dan dia masih akan bisa bertemu lagi? Dia, cowok yang sudah tiga tahun ini selalu mengusik hatiku.
Entah bagaimana, tapi cinta itu tumbuh begitu saja sejak pertama kali dia duduk di bangku depanku. Cowok yang sangat biasa. Sering tidak disiplin, selalu lupa mengerjakan PR, dan juga sering bolos. Sungguh tak ada yang luar biasa.
Tapi, perasaan itu bertahan di sana.
Di sana, siswa-siswi dipisah antara yang lelaki dan perempuan. Hingga acara istighosah selesai, aku sama sekali tidak melihatnya. Mungkin saja dia bolos. Aku juga nggak tanya ke teman-teman.
Hingga akhirnya, aku menemukan dia di pojokan kantin sekolh yang agak sepi. Dari kejauhan, aku memperhatikannya. Hati ini seperti ditusuk pisau. Ada benda tajam yang menelusup ke dalamnya. Terasa sakit dan sesak.
Ini mungkin karena aku hanyalah seorang pecundang. Haruskah aku menyatakan perasaanku? Mungkin, ini akan menjadi kesemptan terakhirku.
Di keremangan cahaya, aku berjalan. Menyusuri setiap bayang-bayang ranting pohon cemara yang berjejer rapi di kanan-kiri jalan setapak yang kulalui. Semakin detik, semakin dekat.
Tapi, berada di jarak lima meter, Adisti lebih dulu duduk di kursi sebelahnya. Entah dari mana cewek itu muncul? Atau jangan-jangan, mereka emang janjian, atau jadian. Akh... entahlah. Pikiranku mendadak kacau. Dan aku lebih memilih putar balik.
”Eh, Jihan, mau ke mana?" dia rupanya melihatku, menyapaku.
”Em, anu, mau ke toilet," jawabku. "Sebelah sana penuh semua," kilahku.
”Kenapa balik lagi kalau gitu?”
”Nggak papa.”
Aku buru-buru meninggalkan tempat itu.
Di tengah bayang-bayang ranting cemara yang tampak cantik diterpa pantulan cahaya rembulan, aku mempercepat langkah.
Sungguh, langit malam ini cuacanya amat cerah. Tapi hujan deras begitu saja datang, membanjiri pelupuk mataku.
Comments
Post a Comment