Skip to main content

Posts

Reconnect

#minicerpen "Terkadang aku berpikir, akulah yang menyebabkan retaknya hubungan kalian. Hingga kamu dan Rista akhirnya putus," ujarku ke Dion. "Justru aku berterimakasih. Kamu udah kasih tau aku tentang perselingkuhan itu," jawabnya enteng. "Tapi Rista itu temanku. Dia sudah percaya, dia curhat ke aku semuanya. Tapi dasar mulutku ini nggak bisa direm." "Kamu yakin, dia cerita semuanya? Hah, aku aja dibohongin. Masa kamu seyakin itu bahwa dia bisa seratus persen jujur ke kamu. Yang benar saja. Kamu itu terlalu polos. Gampang dikibulin," Dion meledekku. Kuperhatikan saja tanpa membantah. Jujur saja, itu adalah perjumpaan pertama kami. Dulu kami memang sering inbokan saat dia masih berada di luar kota. Tapi, komunikasi kami terputus sejak dia putus dengan Rista. Dan sekarang, kami bertemu secara tidak sengaja di taman kota ini. Samar-samar, aku mengenali wajahnya hanya dari foto profil facebook. Begitu pula dengannya. Dan perjumpaan pertama kami ini

Darking Keys

Akhirnya, dia mulai bicara tentang kita. "Aku tidak bisa hidup dengan wanita yang setengah hati mencintaiku. Seperti yang kemarin...aku nggak mau mengulangi yang seperti itu lagi." "Nggak ada orang yang mau berbagi cinta," kataku. "Tidak akan pernah ada." "Lalu, bagaimana perasaanmu padaku?" "Harusnya aku yang tanya. Apa aku benar-benar sudah mampu menggantikan posisi dia di hatimu?" "Tentu saja. Aku nyaman sama kamu." "Bukan seperti itu. Rasa nyaman tidak akan cukup jika kamu masih menyesali kegagalan kisahmu yang lalu." "Apa maumu sekarang?" "Aku harap, kita tidak usah bertemu dulu. Agar kamu bisa berpikir, apa kamu benar'benar merindukanku sepenuhnya atau tidak. Dan lagi, jangan beri aku harapan jika kamu masih tidak yakin dengan perasaanmu sendiri. Kau tahu, kamu akan sangat menyakitiku dengan sikapmu yang seperti itu."

Traveled so Far

#minicerpen Taman kota semakin ramai di sore hari. Ada sekumpulan remaja yang berteduh dengan masih mengenakan seragam putih abu-abu, juga segerombolan anak-anak yang bermain sepatu roda.  Di taman itu, kami bertemu. Duduk berdampingan di kursi taman sambil membicarakan masa depan. "Aku ingin kita menikah,” kataku pada Rus. ”Atau jika tidak...” ”Jika tidak, apa?" ”Jika tidak, maka kita tidak usah bertemu lagi.” "Apa kamu bilang? Mudah sekali kamu bicara. Kamu pikir, menikah itu mudah?” ”Aku nggak mau berpikir. Tapi aku mau bertindak. Bukan hanya sekadar memikirkannya seumur hidupku, sepanjang waktu, setiap waktu...aku bosan dengan hayalan-hayalan itu.” ”Tapi aku belum siap. Aku...akh. Pernikahan itu masih dua tahun ke depan di pikiranku. Aku baru saja bekerja tiga bulan yang lalu. Kamu tahu kan itu?” ”Aku tahu. Tapi kita sudah dua tahun lebih pacaran. Aku terima kamu apa adanya saat ini. Aku tidak minta pernikahan yang mewah, rumah mewah, perhiasan...aku cuma minta perni

Night Inside

#minicerpen Malam ini langit tampak cerah. Kulangkahkan kaki menuju sekolah yang berjarak seratus meter dari rumah. Lagi ada istighosah jelang kelulusan. Jadi, semua murid kelas XII diwajibkan untuk ikut. Hanya ada sedikit ketakutan saja bahwa aku bakalan lulus atau tidak. Yang justru membuatku takut adalah setelah perpisahan itu. Apakah aku dan dia masih akan bisa bertemu lagi? Dia, cowok yang sudah tiga tahun ini selalu mengusik hatiku. Entah bagaimana, tapi cinta itu tumbuh begitu saja sejak pertama kali dia duduk di bangku depanku. Cowok yang sangat biasa. Sering tidak disiplin, selalu lupa mengerjakan PR, dan juga sering bolos. Sungguh tak ada yang luar biasa. Tapi, perasaan itu bertahan di sana.  Di sana, siswa-siswi dipisah antara yang lelaki dan perempuan. Hingga acara istighosah selesai, aku sama sekali tidak melihatnya. Mungkin saja dia bolos. Aku juga nggak tanya ke teman-teman. Hingga akhirnya, aku menemukan dia di pojokan kantin sekolh yang agak sepi. Dari kejauhan, a

The Player

#minicerpen Sambil melamun, kupandangi lagi pesan singkat terakhir kalinya dari Ken.  ”Maaf.” Satu kata yang terus kuulang sepanjang waktu, setiap detik. Pikiranku seperti kosong. Memandang ke langit yang biru di sela-sela daun jati samping rumah, seperti sudah tak berasa, tak terraba.  Seekor ular hijau tampak bergelantungan tepat di atasku, merayap menghinggapi setiap dahan yang saling berdekatan. Kupandangi sejenak, lalu menunduk.  Sudah berulang kali aku diminta ibu untuk memetik daun jati, yang nantinya akan dijual ke pasar bersama dengan ketela pohong juga beberapa sayur-mayur hasil kebun. Sudah berulang kali, tapi aku tidak pernah merasa secapek ini. Lemas sekali rasanya tanganku. Apalagi jika teringat Ken, tambah lemas seluruh badanku. Ken... Dua bulan lamanya kami saling bertemu, berbincang-bincang kemudian jadian. Aku tidak pernah tahu jika dia sudah punya pacar. Aku tidak tahu jika aku selugu ini. Lugu atau bodoh? Aku memang gadis miskin yang tidak terlalu cantik. Sebab itul

Break

#minicerpen Apa ini akan jadi sia-sia? Kamu memberikan sepotong gamis putih yang cantik. Kutanya untuk apa? Jawabmu, aku bisa memakainya nanti di saat ijab qabul. "Haha,” kamu tertawa. ”Kan masih lama. Sekolah saja belum lulus," kataku. ”Ya nggak papa. Mumpung masih murah. Besok kan harga naik semua." Saat itu aku tersenyum. Apa yang kupikirkan mungkin saja berbeda dengan apa yang ada di pikiranmu. Siang ini amat panas. Kutengok hp, sepi-sepi saja. Kususuri trotoar yang menghubungkan sekolahku dengan sekolahmu. Terkadang, aku ingin mencarimu di sana. Di kerumunan siswa-siswa yang sedang bermain sepak bola. Tapi, kuurungkan niat. Buat apa? Jadi, aku melanjutkan langkah. Sekolahmu adalah sekolah khusus putra, jadi sanga wajar jika kamu tidak memiliki banyak teman perempuan. Meski begitu, bukan berarti bahwa aku adalah wanita yang selalu kamu rindukan, iya kan? Kupandangi hp lagi, kubaca pesan-pesanmu yang ramah. Tapi, tiga hari aku tidak memulai, kamu pun tidak muncul untu

Love is so Silent

#minicerpen Aku terus berpikir apa sebab kamu tidak bisa mencintaiku. Sepanjang hari bahkan saat pertama kali membuka mata di pagi hari, aku terus memikirkan itu. Terkadang, pemikiran ini bahkan sampai pada di titik di mana aku tidak bisa lagi berpikir sama sekali. Pagi yang cerah, seharusnya. Iya. Seharusnya. Kususuri setapak demi setapak jalur ini. Melihat sekeliling, di antara rerimbunan bunga flamboyan dan pohon beringin yang rapat daunnya.  Dulu, di taman kota, kita sering menghabiskan waktu bersama. Mencicipi ice cream dan berbincang di sepanjang jalan. Berfoto selfie, dan saling berkomentar tentang kostum yang kita kenakan. Apa kau tahu, aku sangat bahagia saat menghabiskan waktu bersamamu. Dan bagaimana denganmu? Aku mencintaimu. Lalu, bagaimana denganmu? Kau bilang, "Tidak!" kau tidak mencintaiku, dan tidak akan pernah bisa mencintaiku. Bahkan di sisa waktumu yang sedikit itu, tak bisakah kau mencintaiku sedetik saja? Iya. Tentu saja tidak bisa. Dan aku mulai