#cerpen
Nasridin pernah mendapatkan seekor katak berukuran jumbo di ladang itu. Kejadiannya sudah bertahun-tahun lalu. Dan tidak pernah terulang lagi hingga sekarang.
Kesehariannya, Nasridin biasa mencari katak di ladang-ladang milik tetangganya. Pencarian itu dilakukannya tiap malam. Dengan membawa senter seadanya, Nasridin bisa mendapatkan lima sampai sepuluh katak untuk kemudian ditukarkan dengan uang maupun beras.
Katak jumbo yang pernah didapatkannya itu berukuran dua kali lebih besar dari katak-katak pada umumnya. Karena sayang, Nasridin pun tidak ikut menjualnya. Kebetulan, istrinya dulu sedang hamil anak pertama.
Nasridin sesekali ingin mempersembahkan hasil buruannya pada si jabang bayi yang kemudian dia beri nama Kaju, singkatan dari katak jumbo. Penamaan itu juga sebagai bentuk harapan Nasridin. Pada hari-hari berikutnya, dia berharap bisa mendapatkan katak jumbo lagi agar semakin banyak dia memperoleh tambahan penghasilan. Namun, hingga beberapa waktu lamanya, katak jumbo itu tidak lagi ada.
***
Semakin hari, Kaju bertumbuh makin besar. Di usianya yang menginjak enam tahun, dia sudah selayaknya anak berusia dua belas tahun tahun. Larinya kencang dan terbilang hiperaktif. Nasridin selalu berpikir, itu adalah efek dari katak jumbo yang dimakan istrinya ketika sedang mengandung.
Dengan ukuran badan yang segitu, Kaju paling tidak sering ditimang-timang manja oleh embahnya. Dari pada cucu cucu lainnya, Kaju lah yang paling dihindari.
Simbahnya bilang, "Berat. Sudah tidak kuat."
Tidak jarang pula, Kaju diejek bagai si gede dongong oleh ibu-ibu tetangganya. Dengan badan yang sudah gede tapi jiwa kekanak-kanakan, tidak salah jika Kaju sampai dijuluki begitu. Ibu-ibu tetangganya itu seolah hendak melupakan usia Kaju yang sebenarnya. Hingga beranjak dewasa, Kaju masih kerap dipanggil si dongong, alias dungu.
“Biarkan saja. Yang penting kan kamu tidak begitu,” mboknya Kaju sering kali mendengar keluhan Kaju. Dan dia mulai bosan dengan ocehan para tetangganya. Namun, sebagai buruh cuci, simbok Kaju tidak berani berbuat ulah. Biar bagaimana pun, dia butuh pekerjaan.
“Kalau...”
“Hus. Sudah! Nggak usah kalau-kalau nan. Makan tinggal makan. Gendut malah bagus. Dari pada kurus kering seperti tak dikasih makan!”
Kaju tidak memiliki teman bermain. Dia bisa saja menjadi ketua gang andai sedikit saja berani percaya diri. Seperti Donong yang juga memiliki tubuh besar, dia malah kerap memerintah beberapa teman seusianya untuk membelikan es dawet atau roti kumis.
Namun bedanya, Donong adalah anaknya Pak Lurah. Tak ada satu pun ibu-ibu yang berani menggosipkannya di depan mata. Selain itu, wajah Donong juga tidak bentol-bentol sebagaimana Kaju.
Sehari-harinya, Kaju hanya bermain dengan otok-otok buatan bapaknya. Saat siang, dia juga terbiasa memancing di kolam belakang rumah. Kadang-kadang, Kaju dapat ikan sepat seukuran ibu jarinya. Dia amat suka makan dengan lauk itu. Dan hal itu pun berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Beruntung, postur tubuh Kaju ketika dewasa masih imbang, tidak terlalu kentara jumbonya. Meski begitu, masa kecil Kaju tidak menghilang begitu saja. Anak-anak perempuan banyak yang menghindar karena digosipi yang tidak-tidak oleh ibu-ibu mereka.
"Dia itu tolol, dungu. Masak kamu tidak ingat saat kecil seperti apa?!"
Memang Kaju bukanlah pemuda yang pintar-pintar amat. Nasridin yang seorang penyuloh katak itu tidak mampu menyekolahkan Kaju melebihi sekolah dasar. Jika dibilang dungu sebetulnya tidak terlalu salah. Namun, ketika semua itu dikait-kaitkan, lama-lama Kaju juga kepikiran.
"Pak, memangnya benar dulu simbok ngidam katak ya pas hamil aku?"
"Eh, siapa yang bilang?"
"Orang-orang. Tetangga."
"Kalau ngidam sih tidak. Simbokmu tidak ngidam apa-apa. Kebetulan saja dulu dapat katak jumbo. Sekarang juga sudah tidak ada katak sebesar itu."
"Tapi, orang-orang banyak yang menyindirku 'dungu'," Kaju protes.
"Itu karena kita keluarga miskin. Memang bapak tidak sanggup menyekolahkanmu tinggi. Sebab itulah kamu terus diejek begitu. Bapak minta maaf."
Kaju tidak berani banyak bicara. Dia hanya mulai gelisah karena sedang jatuh cinta.
***
Keramaian Pasar Dworowati memang sudah bukan rahasia lagi. Segala macam benda diperjualbelikan di sana, tak terkecuali katak-katak hasil tangkapan Nasridin. Semakin tahun, dirasakannya makin sulit saja mencari katak. Padahal, pesanan yang datang padanya lumayan membanjir. Tapi, apalah daya, ladang-ladang tak lagi banjir. Hujan susah turun. Kata orang-orang, itu karena banyak anak gadis yang tiba-tiba bunting.
Nasridin ingat, satu desanya sudah empat kali digegerkan oleh peristiwa itu. Masih kecil-kecil, seumuran di bawah Kaju. Dengan keadaan itu, Nasridin jadi bersyukur dirinya tak punya anak perempuan.
"Pak, orang itu menawariku kerja ikut dia," Kaju yang saat itu baru saja buang air, mengabarkan hal itu pada bapaknya.
"Siapa?"
"Itu, yang pakai baju coklat."
"O," Nasridin menyelidiki orang berbaju coklat itu dengan matanya, "kerja apa?"
"Jadi kuli panggul. Katanya, badanku besar dan tampak kuat."
"Ya, coba saja sana," Nasridin mengamati pekerjaan Kaju dari kejauhan. Ketika katak-kataknya sudah habis, Nasridin tetep berada di pasar itu. Dia menunggu sampai Kaju menyelesaikan panggulan terakhirnya.
"Dapat berapa?" Nasridin segera melongok.
"Ini, Pak."
"Wah, lumayan. Ditabung ya. Buat persiapan masa depan. Ngomong-ngomong, sudah ada kah anak gadis tetangga yang kau incar? Kamu tidak pernah cerita."
Kaju kemalu-maluan. Dia hanya tersenyum dan belum berani menjawab. Keesokan harinya, Kaju semakin sering mendapat job sebagai kuli panggul. Tidak hanya satu tempat, tapi juga beberapa. Hingga pundi-pundi tabungan Kaju pun makin menumpuk.
Kaju memang tipe lelaki pendiam. Sehari-harinya dia ke pasar, setelah itu pulang kemudian tidur. Dia tak pernah sekadar main remi di warung sebelah. Sekadar minum segelas congyang juga tidak. Kaju memang begitu. Dan dia terus saja begitu.
Sesekali, Kaju memang mengamati anak tetangga yang baru pulang dari pasar. Dia biasanya juga ikut berdagang sayuran dengan emaknya. Kadang-kadang, Kaju sempat tersenyum, dan menampakkan kerutan-kerutan pada hidungnya yang hitam kena sinar matahari terus-terusan.
Kaju berpikir, pasti senyumnya tidak sangat menarik. Bahkan, gadis incarannya itu pun balas senyum karena mengejek dalam hatinya. Kaju pasrah. Sekadar menegur saja tidak berani. Dan lama-lama, Kaju mulai terbiasa untuk berusaha memalingkan wajahnya. Ingin melihat tapi tak boleh melihat.
Ya, sudahlah.
***
Lagi-lagi, kampung Kaju digegerkan dengan berita anak remaja hamil. Sudah tiga bulan tapi orangtuanya baru menyadari. Yang membuat berita itu semakin merebak adalah, si anak itu tidak tahu siapakah bapak dari jabang bayinya.
“Wah, bener-bener nggak bener tu anaknya Sakri.”
“Itulah kalo bapak-ibuknya kelayapan terus.”
“Kelayapan apa to? Kan mereka cari uang.”
“Lha cari uang kok dua-duanya ke kota. Punya anak gadis ditinggal sendiri. Ya, bunting begitu siapa coba yang malu?”
Kaju menajamkan telinganya mendengar desas-desus itu. Dia tahu bahwa anak gadis yang sedang dibicarakan adalah Mirah, anak tetangga yang beberapa kali diliriknya. Mirah memang cantik. Pantas jika banyak lelaki yang melirik.
Sekarang, sudah terlanjur bunting, tak ada seorang lelakipun yang mau.
Paman-paman Mirah mulai kebingungan. Berkali-kali Mirah ditanya tapi jawabannya hanya diam. Sempat diseret beberapa pemuda kampung yang tampak pernah memboncengkan Mirah dengan sepedanya. Namun lagi-lagi, pemuda itu berkilah. Ujarnya, “Bukan aku saja. Dia, dia, dia juga!”
Satu bulan kemudian dari terbongkarnya kehamilan Mirah, Kaju semakin tidak pernah melihat Mirah keluar rumah. Di hati kecilnya sebetulnya ada rasa rindu, tapi juga sekaligus kecewa.
Kaju pernah merasa tersindir dengan balasan senyuman yang dilontarkan Mirah. Sudah bertahun-tahun dia berusaha melupakan ejekan itu. Kaju memang bukan pemuda desa yang tampan dengan wajahnya yang mulus tanpa jerawat. Dan dia mulai jengah pada dirinya sendiri yang justru semakin dalam memikirkan anak gadis orang yang terlanjur bunting itu.
Batinya terus bertanya, iyakah nasibnya mendapat sujumput barang bekas dari banyak lelaki. Mentang-mentang dia jelek. Apa tidak pantas mendapatkan wanita yang cukup baik-baik.
Kaju terus berontak dalam hatinya. Dan ibu-ibu kampung semakin sering terdengar membicarakannya.
“Eh, mana ada yang mau. Hih, amit-amit jabang bayi. Lha wong pacarnya saja banyak kok!”
“Kalau aku ya, punya anak gadis, tak larang punya pacar. Pulang sekolah langsung tak suruh pulang. Lha itu saja malah bebas kok. Duh, duh!”
Kaju masih bertanya-tanya. Dia merasa kasian sebetulnya. Meski cinta yang dulu dia rasakan itu sudah berkurang, tapi Kaju tak bisa memungkirinya. Memang dia jelek, juga dungu. Tapi, Kaju tetaplah Kaju yang tidak berani memiliki banyak harapan. Yang kecil-kecil saja sudah membuatnya takut. Takut jika Mirah menolaknya. Dia yang jelek dan berjerawat, sedang Mirah yang terawat.
Sore itu di pematang sawah, Kaju memberanikan diri berucap, meski masih maju mundur juga perasaannya.
“Jika memang takdirku begini, biar kuterima saja Mbok. Aku mau terima Mirah. Itu pun kalau dia mau.”
Langit tampak keremangan ketika simbok dan bapaknya Kaju mulai berbincang dengan paman-paman Mirah. Sedangkan Mirah hanya berdiam di pojokan. Matanya kosong dan tidak berkata secakap pun.
Kaju kembali ragu.
Seekor katak tampak mengendap-endap di plataran rumah Mirah. Bukan katak yang laku dijual pada umumnya. Katak itu kecil dan tidak banyak bentol-bentol di badannya. Kaju terus memandanginya. Kemudian, katak itu tersenyum padanya. Kaju merasa, jiwanya sudah mampu membaur dengan bahasa katak. Sedikit tersenyum, dan Kaju sudah siap dengan jawaban apa pun.
Comments
Post a Comment