Skip to main content

Berkutat dalam Sekubangan

Kembali, kutiris lele dalam sebakul. Sore ini, ada pesanan dua puluh ekor dari Kang Jauri, penjual pecel lele yang selalu mangkal di jembatan layang dekat pasar Gayam. 

“Nggak nambah, Kang?” 

“Lagi sepi, Wur.”
 
“Buat makan sendiri, to.”
 
“Ha, ha, bisa rugi nanti.”
 
Sambil memindahkan lele-lele ke dalam kresek, sesekali kunikmati juga suara gemerisik tronton yang melintas. Tak selayaknya ia melintasi dukuh dengan lebar yang jauh lebih kecil dari badannya itu. Namun, tetap saja ada beberapa kali dan sungguh mampu menggoyangkan sejengkal tanah yang kupijaki ini.
 
“Tronton-tronton kok suka benget lewat sini, ya, Kang.”
 
“Tahu, tuh. Ngincer kamu barangkali, Wur.” 

Usai dibungkuskan, Kang Jauri langsung beranjak pergi. Dari kejauhan, mampu kulihat kresek yang ditaruh di sebelah tangan kirinya itu bergoyang-goyang. Lele-lele di kolamku memang selalu kujual dalam keadaan segar. Jika ada satu saja yang layu, bolehlah dikembalikan biar nanti kuganti dengan yang baru.

“Halo,” kataku memulai lagi pembicaraan lewat telepon dengan Babil, pacarku.

Ketika tak ada pembeli itu, aku baru berani menelponnya. Malu jika sampai ada orang yang mendengar suaraku kala bermanja-manjaan dengan pacarku.

“Iya, halo.”

“Biar aku saja yang ke tempatmu, ya?” kataku merujuki Babil yang sudah beberapa bulan tak pernah pulang kampung.

“Sudah kubilang tak usah, Wur. Tunggu saja sebentar lagi.”

“Ah, kau sudah bilang seperti itu berkali-kali,” kataku parau. Usai yang terakhir itu, telepon langsung kututup.

Kembali kutergolek dalam selembar anyaman bambu yang telah kugelar di atas dipan; sekadar untuk menikmati semilir sore ini dengan berangin-angin di bawah pohon jambu. Dipan itu memang sengaja ditaruh Bapak di sana; sebagai tempat berjaga agar lele-lele kami tak sampai dicuri tetangga.

Sejenak, mampu kulupakan telepon genggamku kala rebahan itu. Hingga pada akhirnya, benar-benar ia kubiarkan saja sementara mata ini mulai terpejam. Menikmati semilir angin sore sungguh sering membuatku kewalahan. Maunya hanya tidur kemudian tiduran lagi, dan lagi.

Sementara itu, dalam keterpejaman itu, kulihat seolah nyata di serambi bahwa flamboyan sedang pergi – jiwanya. Di pot, ia tergolek layu oleh karena keseringan menikmati pergantian panas dan hujan. Ketika yang lain sedang berada pada puncak musim mekar, ia malah tergolek laksana ababil dalam sangkar.

“Iya, ababil,” kata Babil pada suatu dulu.

“Burung jenis apa itu?”

“Ah, kau, Wur. Masa tak tahu.”

“Salah sendiri nggak terkenal!”

Matanya, juga seraut wajahnya, tak pernah menghilang dari pandangan. Usai kepergiannya yang terakhir itu, kami tak pernah lagi bertemu. Sementara kini, aku hanya didera kesengsaraan menanti kehadirannya yang tak kunjung datang.



***

Sementara itu, yang tak diharapkan malah keseringan datang. Mbok Nah, seperti pada hari-hari sebelumnya, kini pun dia datang dengan membawa serantang nasi beserta bala tentaranya. Beberapa kali sudah ia lakukan hal yang serupa. Menurut kabar yang beredar, katanya sih mau dijodohkannya aku dengan si Joar, anak lelakinya yang sukses sebagai pengangguran.

“Ya, nggak papa to, Wur,” kata Bapak menanggapi isu yang hampir membuat pengar telingaku.

“Nggak papa gimana, Pak. Lha wong pengangguran gitu, kok.”

“Tapi, warisannya kan banyak.”

“Alah, warisan,” kucibir Bapak kemudian meninggalkannya dalam kejengkelan.

Bapakku itu rupanya sudah mulai termakan. Sedang dengan Babil, dia malah tak pernah setuju. Katanya, tak pantaslah si Babil itu karena hanya sepetak sawah saja warisannya.

Dan kini, yang tersisa hanyalah selembar jaket yang tergantung di balik pintu, sepasang sepatu yang kucampur di rak sepatu, juga sebuah jam tangan yang kubiarkan tergolek seadanya di atas meja. Andai suatu hari Babil-ku pulang, pikirku, aku tak kan terlalu kelabakan untuk mengembalikannya.

Walaupun pada kenyataannya, memang tak mungkinlah bisa jika harus sesering dulu. Meski begitu, toh masih sulit juga bagiku. Berkali-kali kucoba buang namun tak pernah mampu. Semuanya hanya berbalik arah hingga kembali ke masa dulu. Sangat dulu saat untuk beberapa masa kami habiskan waktu untuk menganyam bambu. Bersama-sama hingga kami bentuk menjadi sebuah tabag, atau tumbu, atau bahkan tampah kecil yang biasa kami gunakan untuk menaruh nasi aking.

Di lain sore, kami juga sering menghabiskan waktu dalam sekubangan coklat air kali. Rasanya, sungguh menyenangkan ketika kami harus terjun dari atas tebing yang berukuran tiga kali lebih panjang dari tubuh kami. Tak hanya aku tapi kurasa dia pun menikmati.

Usai bermain dalam kubangan, kami selipkan ekspedisi kecil-kecilan. Melakukan sebuah pencarian, penelitian, untuk sekadar bisa mendeteksi; layak atau tidaknya itu jika dijadikan kayu bakar sebagai penyumpal mulut pawon di rumah kami masing-masing.

“Pelan-pelan sambil ditiup biar tak mati,” kata Babil sambil mengajariku membuat bedian, dulu.

“Iya, iya,” jawabku mulai jengkel karena tak bisa-bisa juga.

“Bisa nggak sih, keburu dingin nih.”

“Kalau begitu, kamu saja sendiri, Bawel!”

Meski kami tidak tinggal dalam satu atap tapi ia serasa mampu memiliki apa pun kepunyaanku; dapurku, perabotanku – tentu saja saat tak ada orangtua di rumah. Sementara miliknya, ya Tuhan, sedikit pun aku tak berkesempatan memiliki.

Laksana ababil, ia selalu terbang bebas. Ke sana-ke mari melintasi perbukitan yang penuh dengan aroma cengkeh dan pala. Sesekali, aku pernah juga dibawakannya beberapa saat ia pulang dari perantauannya. Meski, yah, meski memang tak pernah bisa lama kami menikmati waktu-waktu kepulangannya. Bapakku itu, dia tak pernah bosan untuk mengganggu.

Sejak lima tahun belakangan, Bapak memberiku tanggungan sepetak kolam lele di samping rumah. Tiap pagi, siang, dan sore, aku tak boleh ke mana-mana pergi. Sementara ketika sedang ada janji dengan Babil itu, aku selalu lupa waktu.

Pernah pada suatu hari, kami sengaja melarikan diri mengunjungi pantai Marina. Setelahnya, kami mampir pula ke PRPP; melihati miniatur rumah adat yang hampir terbengkalai.

Oleh karena keasikan menikmati pemandangan bakau yang menghijau dari balkon, melewati liur-liur jalan setapak yang telah diatur sedemikian rupa, juga memandangi ikan kecil yang berenang di danau bening itulah maka, oh, ya Tuhan. Ikan!

“Ikan apa?” Babil jadi keheranan melihat ekspresiku yang berlebihan kala melihat ikan.

“Lele.”

“Lele?”

“Iya. Belum tak kasih makan!”

“Aduh!”

Setelahnya, Bapak tak pernah memberiku izin ketika aku hendak keluar dengan Babil.

***

Segalanya, kadang terasa seperti lubang air yang berjejer di sepanjang jalan. Berkali-kali tertutup noda kemudian tersapu oleh alirannya kala musim hujan tiba. Meski tak pernah sempurna jernih tapi cukup mampu untuk mengembalikan kebersihan tepian serta membuang segalanya ke laut saja.

“Siapa?” tanya Emak yang mendengar mulutku berumak-umik.

“Tuh, si Joar. Biar ke laut sekalian.”

“Sinis amat sama Joar.”

Sinis?

Kurasa, aku layak menyinisinya. Dia, lelaki berpipi tembam dengan berat badan di atas proporsional itu, kenapa pula harus brojol dari rahim Mbok Nah, janda kaya yang ditinggali hektaran sawah oleh mantan suaminya.

Sementara Babil, lelaki yang selalu terlihat perkasa di mataku itu malah hanya lahir dari perut wanita tua dan penyakitan semacam Mak Pah itu. Meski begitu, toh nyatanya dia jauh lebih mampu menarik perhatianku.

“Nanti pasti saya makan, Mbok,” kataku tiap kali menanggapi rantangan yang menggiurkan dari Mbok Nah.

“Bener, lho.”

“Iya. Ini masih kenyang kok.”

Berkali-kali dikirimi, hanya itu saja alasan yang mampu kuberi. Sayang sekali memang karena aku tak pandai mengelabuhi.

Pernah sekali dulu aku coba-coba. Ketika ada janji dengan Babil, kubilang pada Bapak bahwa aku sedang ada jadwal untuk belajar kelompok. Tak ragu, sambil kusalahkan pula guruku yang pernah menyuruh kami untuk belajar dengan cara yang seperti itu.

Tapi, kemudian sia-sia belaka karena Bapak terlebih dulu mampu menemukan kami yang sedang asik-asiknya menikmati siomay di pinggir jalan. Sekalinya ketahuan, aku selalu merasa was-was untuk coba-coba mengelabuhi lagi.

“Bantu aku to, Mak!”

“Lha Makmu ini memangnya bisa apa?”

“Ya, apalah.”

“Hah, aku sendiri tak enak kalau menolak pemberian orang. Takut dikira sombong, Nduk.”

“Lha terus, aku harus bagaimana?”

Seharusnya, Babil memang ada di sini. Satu-satunya jalan adalah menghadirkannya secara nyata agar bisa menjadi penolak bala untuk kedatangan Mbok Nah, juga si Joar sialan itu. Sayangnya, berada di mana dia sekarang, aku sendiri pun juga tak tahu. Hanya telpon genggamnya saja sarana komunikasi kami; sarana Babil untuk mengutarakan keberadaannya pada tempat-tempat yang terdengar asing di telingaku.

***

Sore menjelang malam ini, Emak pulang dari sawah dengan menyisakan selembar kusut di wajahnya. Sisa-sisa panggangan matahari masih terlihat jelas di sana. Serta yang tak pernah ketinggalan adalah ciplukan; buah khas persawahan yang kukagumi benar.

“Mak Pah sudah ke sini, Wur?” tanya Emak sembari melepas caping dari kepalanya.

“Belum, Mak.”

“Katanya mau diambil sendiri.”

“Ambil apa, Mak?”

“Lele.”

“Mak Pah pesen lele?” mataku sontak terbelalak.

Tak biasanya emaknya Babil itu pesan lele. Kecuali, kecuali ya kalau Babil sedang pulang kampung. Apa ini berarti bahwa…

Tapi kalau beneran dia pulang, kenapa tak bilang dulu. Tak biasanya juga ia memberiku kejutan seperti itu. Atau, barang kali memang agak berbeda untuk yang kali ini.

“Kamu antar, gih!”

Mengantar lele ke rumah Mak Pah, tentu saja aku tak nolak. Meski belum tentu bisa bertemu tapi setidaknya, akan terseduh aroma Babil di sana. Sisa-sisa, meski kutahu pasti hanya sisa-sisanya saja.

“Mau ke mana, Wur, ceria amat?” tanya Lek Khudori menyapaku.

“Mau ke rumah Mak Pah,” jawabku memang benar-benar ceria.

“Ke mana, Wur, semangat amat?” tanya Kang Sono menyapaku juga.

“Mau ke rumah Mak Pah,” jawabku ceria lagi.

Setibanya di tempat yang kutuju, aku mempersiapkan diri.

Di depanku sudah terpancang jelas segubug setengah reyot. Platarannya yang sering kali becek saat hujan itu tampak bersih. Meski ada dua pohon jambu yang saban hari menggugurkan daunnya tapi Mak Pah memang tak pernah bosan nyapu.

Tapi, Mak Pah tak sedang nyapu sekarang. Ketika kuintip dari balik pintu, ia hanya sedang duduk manis saja di ruang tamu. Di hadapannya tengah berdiri seorang lelaki berpipi tembam yang telah lama kukenal. Lelaki dengan pipi tembam dengan berat badan yang jauh di atas proporsional itu menyerahkan sebuah amplop ke tangan Mak Pah.

“Wur,” Mak Pah setengah terkaget ketika menyadari keberadaanku.

Seketika itu pula, kulepaskan genggaman pada kresek yang dipenuhi lele-lele. Kubiarkan begitu saja. Lalu, dengan menahan tangis sekuat tenaga, kutinggalkan mereka yang masih berkecipuk riuh di dalam sana.

“Wur!” Mak Pah memanggil lagi. Tapi, kakiku sudah tak ada kekuatan untuk kembali.


Comments

Popular posts from this blog

Pantai Pungkruk Jepara, Mirip Altar Pernikahan

 Free Html Jika kamu berkunjung ke Kabupaten Jepara, amat sangat aku sarankan buat mampir ke Pantai Pungkruk yang ada di Desa Mororejo, Kecamatan Mlonggo, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Selain karena aksesnya amat mudah dijangkau, menikmati keindahan pantai ini juga gratis loh guys. Tidak ada tiket masuk maupun parkir sama sekali. Meski free, jangan salah sangka dulu ya. Sebab pemandangan alam yang dipadukan dengan dekorasi buatan amat terkombinasi dengan begitu cantiknya di sini. You see, ini mirip seperti altar pernikahan outdoor yang ada di pernikahannya orang-orang kelas atas gitu guys. Cantik dan amat bagus penataannya yang sederhana namun tetap elegan. SPOT PREWED Bayangin deh kamu ambil foto prewed di sini sama pasangan. Sudah pasti ini akan jadi background yang cantik buat foto-foto kalian.  Baik itu dari spot yang bulat-bulat mirip altar di kastil, ataupun di spot mirip jembatan yang berada persis di tepi pantai ini.  GAZEBO Di kawasan pantai yang gratisan ini ju...

Puja Mandala, Wajah Toleransi Umat Beragama di Bali

Puja Mandala Toleransi umat beragama di Indonesia memang sudah tidak diragukan lagi. Termasuk juga yang ada di Pulau Bali. Hal itu tercermin dalam satu kawasan wisata religi yakni di Puja Mandala Di Puja Mandala ini ada lima tempat peribadatan untuk enam agama yang diakui di Indonesia. Kenapa lima tempat ibadah untuk enam agama? Karena Puja Mandala ini sudah lebih dahulu dibangun sebelum agama Kong Hu Chu diakui di Indonesia. Jadi, Puja Mandala dibangun tahun 1994, sedangkan agama Kong Hu Chu diakui di Indonesia sejak masa kepresidenan Abdurrahman Wahid yakni antara tahun 2000-2001 (silahkan komen jika aku salah ya). Jadi, ya begitulah gaes. Sudah terlanjur dibangun lima tempat ibadah ya. Pura Jagatnatha Oke, kita mulai yang pertama. Ini ada Pura Jagatnatha. Di pintu masuk pura, ada keterangan bahwa yang akan beribadah diwajibkan mengenakan pakaian yang layak, sopan serta dilarang pakai rok pendek ya untuk perempuan. Selain itu, juga dilarang pecicilan dengan menaiki atau memanjat semu...

Wisata Religi Hemat di Klengteng Sam Poo Kong Semarang

Tiket reguler: Rp7000 Tiket Ibadah: Rp20.000 Aula Klenteng Sam Poo Kong Hai sobat traveling hemat, kali ini aku mau kasih info tentang perjalanan aku singgah di Sam Poo Kong Semarang.  Dengan budget di bawah Rp50.000, kamu sudah bisa menikmati design arsitektur cantik khas China, yang merupakan salah satu tempat petilasan dari Laksamana Muslim asal China, yaitu Laksamana Cheng Ho. Patung Laksamana Cheng Ho Lokasi Klenteng Sam Poo kong ini berada di Kota Semarang, Jawa Tengah, tepatnya di Jalan Simongan. Lokasi detailnya yakni berada di sebelah barat Tugu Muda. Kurang lebih hanya berjarak lima sampai sepuluh menit saja, tergantung dari kondisi kemacetan pusat kota saat berkunjung. JAM BUKA Jam buka dari Klenteng ini dari pagi sampai malam guys. Jadi, kalau kamu pas lagi mampir di Semarang, bisa juga menghabiskan waktu menikmati arsitektur cantik yang merupakan peninggalan dari muslim asal China yang sempat singgah di Indonesia, yakni Laksamana Cheng Ho. RINCIAN TIKET Untuk tiketnya ...