Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2020

Katak Jumbo

#cerpen Nasridin pernah mendapatkan seekor katak berukuran jumbo di ladang itu. Kejadiannya sudah bertahun-tahun lalu. Dan tidak pernah terulang lagi hingga sekarang.  Kesehariannya, Nasridin biasa mencari katak di ladang-ladang milik tetangganya. Pencarian itu dilakukannya tiap malam. Dengan membawa senter seadanya, Nasridin bisa mendapatkan lima sampai sepuluh katak untuk kemudian ditukarkan dengan uang maupun beras.  Katak jumbo yang pernah didapatkannya itu berukuran dua kali lebih besar dari katak-katak pada umumnya. Karena sayang, Nasridin pun tidak ikut menjualnya. Kebetulan, istrinya dulu sedang hamil anak pertama.  Nasridin sesekali ingin mempersembahkan hasil buruannya pada si jabang bayi yang kemudian dia beri nama Kaju, singkatan dari katak jumbo. Penamaan itu juga sebagai bentuk harapan Nasridin. Pada hari-hari berikutnya, dia berharap bisa mendapatkan katak jumbo lagi agar semakin banyak dia memperoleh tambahan penghasilan. Namun, hingga beberapa waktu lamanya, katak jumb

Pesan Purnomo

#cerpen “Di mana Satrio?”  Orang yang pertama kali kulihat di Rumah Mbah Marih adalah Teguh. Dia kawan baiknya Satrio. Mereka sudah begitu sejak lama. Lebih tepatnya, sejak kami semua mulai akil baliq.  Sejak itu pula, hubunganku dengan Satrio tak lagi selekat dulu. Peraturan di kampung memang lumayan rumit. Aku tak bisa berlama-lama berdekatan dengan Satrio, seperti yang sering aku lakukan dulu. Emak bilang, anak perempuan tak pantas jika main-main dengan anak laki-laki. Seperti tak punya malu. Tidak bermoral.  Kadang-kadang, jika emak berangkat ke pasar, aku sesekali masih ke rumah Satrio. Tepat di depan rumahku adalah rumahnya. Dan kami masih sering bercengkrama. Ya, tentu saja saat orangtua kami sedang tidak ada.  Barusan saja, Purnomo, bocah berumur sembilan tahun, datang mengabarkan. Satrio kini berada di rumah Mbah Marih, dukun urut paling manjur di seantero kampung. Bahkan, namanya pun banyak dibicarakan orang-orang dari dusun lain.  Purnomo bilang, sakitnya Satrio i

Berkutat dalam Sekubangan

Kembali, kutiris lele dalam sebakul. Sore ini, ada pesanan dua puluh ekor dari Kang Jauri, penjual pecel lele yang selalu mangkal di jembatan layang dekat pasar Gayam.  “Nggak nambah, Kang?”  “Lagi sepi, Wur.”   “Buat makan sendiri, to.”   “Ha, ha, bisa rugi nanti.”   Sambil memindahkan lele-lele ke dalam kresek, sesekali kunikmati juga suara gemerisik tronton yang melintas. Tak selayaknya ia melintasi dukuh dengan lebar yang jauh lebih kecil dari badannya itu. Namun, tetap saja ada beberapa kali dan sungguh mampu menggoyangkan sejengkal tanah yang kupijaki ini.   “Tronton-tronton kok suka benget lewat sini, ya, Kang.”   “Tahu, tuh. Ngincer kamu barangkali, Wur.”  Usai dibungkuskan, Kang Jauri langsung beranjak pergi. Dari kejauhan, mampu kulihat kresek yang ditaruh di sebelah tangan kirinya itu bergoyang-goyang. Lele-lele di kolamku memang selalu kujual dalam keadaan segar. Jika ada satu saja yang layu, bolehlah dikembalikan biar nanti kuganti dengan yang baru. “Halo,” kataku memulai