Iseng-iseng, kudatangi lelaki berwajah bersih dan tak berkumis, yang duduk sendirian di salah satu kursi taman.
Aku memang sengaja memilih yang tak berkumis. Bagiku, mereka yang berkumis itu tampak tua, jelek, dan tidak cool banget. *Semoga kelak suamiku tidak seperti itu*
Aku juga menyukai bentuk badannya yang menurutku amat memenuhi kriteria. Tak perlu atletis. Yang penting, lebih tinggi dariku, minimal lima belas centi.
Untuk urusan fisik, wajah tampan hanyalah prioritas kedua. Entah kenapa ya, bagiku, cowok tinggi itu sepertinya bisa melindungi. Aku pun tahu jika ini hanya sugesti saja sih. Seperti pada kenyataannya, karateka pun banyak juga yang tidak sangat tinggi.
Bahkan, aku pernah menonton pertandingan karate yang dijuarai oleh cowok yang menurutku berbadan dua kali lebih besar dari berat proporsionalnya. Maksudku, tumbuhnya ke samping, bukan ke atas.
"Hai," kuberanikan untuk menyapa cowok yang sedang duduk sendirian itu. Kulihat, tangannya sedang sibuk dengan gadget. Mungkin dia lagi Wa-an dengan pacarnya. Mungkin pula sedang inbokan dengan gebetannya. Entahlah. Yang jelas, dia sambil senyum-senyum sendiri tadi.
"Hai," dia membalas sapaanku dengan senyumnya.
Aku terperanjat sejenak. Aku merasa, ini adalah love at first sight. Huft. Kumat deh ngawurnya.
Mengenai firts love ya. Kata seorang psikolog, itu tu nggak ada. Kalo ketertarikan di pandangan pertama itu namanya simpati, kagum, dan bukan cinta. Cinta datangnya secara perlahan dan akan makin kuat tiap harinya. Dan kata Kak Oki Setiana Dewi, cinta itu bisa kok dipelihara. Ok, sekian tentang cinta.
Kembali ke cowok tadi. Melihat respon yang cukup positif, aku makin mendekatinya dan mengatur nafasku agar tidak tampak nerveos.
"Boleh minta foto bareng, Kak?" tanyaku.
Aku memang berniat untuk membuang rasa maluku sejak awal tadi. Dan itu, sungguh tidak mudah! Sebelum dia menjawab, atau menolak, aku begitu saja duduk di sebelahnya. Aku yakin, cowok akan sulit menolak permintaan cewek jika sudah dalam kondisi kepepet.
Segera kukeluarkan hapeku. Dan segera mencari ikon kamera. Sebelum mulai action, aku izin lagi ke dia. "Nggak papa ya, Kak?! Aku ini jomblo tak bahagia. Aku mau pamerin foto kita di Fb biar temen-temenku ngiranya, aku udah punya pacar. Aku sebel, mereka selalu mamerin cowok-cowoknya gitu. Lebih tepatnya, aku merasa nggak laku. Buruk. Dan juga 'syaake'. Kau tahu bahasa 'syaake', Kak?..." aku terus saja nyerocos.
Dia menggeleng saja.
Mungkin, di pikirannya, aku adalah cewek stress, atau minimal ya setengah stress lah.
"Syaake itu bahasa Jawa. Artinya, kasian, pake banget juga boleh. Jadi, boleh kah aku minta beberapa foto? Berdua?" dia tersenyum saja.
Dan aku mulai bingung menyingkirkan gejolak di hatiku ini. Duh, jangan sampai aku jatuh cinta!
Cekrek, cekrek, cekrek.
Beberapa gambar berhasil kudapatkan.
"Kurasa, kita tampak serasi, Kak. Gimana menurutmu?"
"Ya, lumayanlah. Kamu orang mana?"
Aku tersenyum dulu sebelum menjawab. Ketika dia mau bertanya tentangku, setidaknya, dia mulai tertarik padaku. Asyeekk. "Aku dari Demak, Kak. Kamu?"
"Aku asli sini. Demak tu mana ya?"
"Duh, masak nggak tahu. Mesti nggak merhatiin pas pelajaran Sejarah nih. Kalo Semarang tau?"
"Tau."
"Yah, tetangganya persis tuh. Kapan-kapan main ke situ Kak. Nanti, aku siap jadi tour guide-nya."
"Emang, ada apa saja di Demak?"
"Kebanyakan sih wisata religi. Tapi, ada juga Pantai Glagah Wangi. Bagus deh Kak buat foto-foto," kuperlihatkan pula beberapa gambar Glagah Wangi yang sempat kuambil beberapa minggu lalu.
"Nih, bagus kan?"
Dia tampak manggut-manggut. "Aku pernah lihat itu di TV. Kalo nggak salah di TransTV."
"Emang udah pernah masuk TV sih. Jadi, kapan nih mau ke Demak?"
"Em, besok deh kalau aku ada libur."
"Kakak ini, kuliah apa kerja?"
"Sudah kerja. Ini lagi break. Tapi kan cuma sehari. Ya, bisanya jalan-jalan sekitar sini saja."
"O," aku mulai bingung cari topik pembicaraan.
"Kamu ke sini ada acara apa?"
"Ikutan seminar."
"Masih kuliah?"
"Nggak sih. Udah lulus. Kebetulan lagi nggak ada kegiatan dan yah, aku ikut saja. Sekalian refreshing. Cari kerja di Demak ternyata susah. Padahal banyak perusahaan di sana."
"Cari di Jakarta saja kalo gitu."
"Nggak ah. Aku sudah bertahun-tahun di Semarang. Dan pinginnya menghabiskan sisa hidup di kampung halaman."
"Duh. Bahasamu kayak udah mau mati aja deh."
"ƗƗɐƗƗɐ...ƗƗɐƗƗɐ....ƗƗɐƗƗɐ"̮."
"Oh ya, boleh minta nomo Wa-nya. Kapan-kapan kalo jadi, aku tak ke Demak."
"Boleh banget Kak. Aku boleh tag foto kita di Fb nggak? Kakak Facebooknya apa?"
"*sensor*"
"Nanti kalo tak tandai, ada yang marah apa nggak?"
"Wah, banyak. Fans-fans ku kan ada di mana-mana. ƗƗɐƗƗɐ...ƗƗɐƗƗɐ....ƗƗɐƗƗɐ"̮."
Aku mengernyitkan dahi. Nih cowok ada benih-benih playboy juga ternyata.
"Ya udah Kak, aku balik dulu ya."
"Langsung pulang? Mau dianter?"
"Nggak usah," aku mulai mengemasi barang-barangku.
"Naik apa?"
"Naik bis. Makasih ya Kak. Sampai jumpa lagi," aku meninggalkannya dan tidak menoleh lagi.
Langit mulai gelap. Dan taman kota tampak makin ramai dari sebelumnya. Udara dingin mulai menerpa wajahku dan aku mengabaikannya dengan menyerahkannya pada jaketku. Di tepi jalan, aku sedikit melamun hingga bus yang hendak kunaiki itu datang dan membawaku ke terminal. Memang sengaja kupilih bis malam agar aku bisa tidur di perjalanan.
Esok harinya, aku sudah mulai membayangkan. Teman-temanku pasti akan terkejut dengan oleh-oleh yang aku bawa di dalam hapeku.
Comments
Post a Comment